BAB
I
PENDAHULUAN
Khawarij dalam bahasa
arab adalah bentuk jama’ dari kata kharij, artinya keluar. Khawaris
adalah aliran yang muncul sebagai penentang kelompok ali dan mu’awiyah sebagai
akses perundingan damai yang berlangsung menjelang berakhirnya prang shiffin.
Pada awalnya kaum khawarij berpihak kepada ali, tetapi ketika terjai kesepakatan
bahwasanya seksesi khilafah hendaknya diselesaikan melalui meja perundingan,
maka mereka melepaskan diri dari pihak ali. Itulah sebabnya mereka disebut
khawarij, yaitu orang orang yang melepaskan diri.
Dalam pandangan mereka
permasalahan yang mereka hadapi tidak bisa diselesaikan dalam perundingan,
sesuai dengan firman allah dalam Surat Al-maidah ayat 44
Artinya:
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang orang yang kafir. Q.S. Al-Maidah Ayat 44
Berdasarkan
ini mereka meneriakkan prinsip la hukma illa allah. Pandangan utama aliran ini adalah
puritisme, yakni sekap pandangan bernostalgia dengan kekhilafaan umar, mereka
ini dapat disebut sebagai mu’min terdahulu. Banyak diantara merekan yang qurra’
yakni
ahli
baca al qur’an. Doktrin mereka mengenai dosa merupakan corak khas dari ajaran
khawarrij yang dimunculkan oleh salah satu nama kelompok bernama ‘’Azraqiyyah’’
sekitar tahun 74/693.
BAB II
PEMBAHASAN
Gerakan khawarrij,
cenderung bercorak populis, tampil sebagai oposisi terhadap segala ancaman
kekerasan khilafah kerajaan bangsa arab. Subremasi bangsa arab terlihat pada
praktek perubahan status muslim non arab kepada suku suku arab dan pada wktu
bersamaan memaksakan masing masing dari non arab agar bernaung pada seorang
‘’pelindung” arab. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menciptakan keadaan status
umat islam, setiap muslim non arab kedudukannya sebagai kilen (maula) bagi
bangsa arab , sekalipun sesungguhnya kebijakan ali sendiri sangat berbeda
dengan kebijakan ini, bagi Ali setiap muslim punya kedudukan yang sama, jadi
penurunan drajat masyarakat non arab secara umum pada status inforor ini, wajar
jika kebencian kalangan non muslim arab sehingga mendorong sikap mereka
bersekutu dengan grakan grakan lainnya yang muncul pada saat itu dalam
perjuangan menumpas segala bentuk kezaliman.[1]
Awalnya ali
mengabaikan ancaman khawarrij karena pokus pada perlawanan terhadap kekuatan
mu’awiyyah, namun akhirnya pecah perang antara pasukan ali dan khawarrij di
Nahawan. Banyak khawarrij yang terbunuh, sisanya melarikan diri dan
merahasiakan gerakan mereka. Ali sendiri akhirnya menjadi korban pembunuhan di
Mesjid Kufah oleh seorang khawarrij yang bernama Ibn Muljam, yang dikabarkan
mendapat order membunuh ali dari seorang wanitayang menjanjikan akan menikahkan
ibn muljam dengan anak gadisnya sebagai imbalan.
Selama 400 tahun
khawarrij menjadi biang keladi kerusuhan dan permusuhan terhadap khalifah,
mereka yang masih bertahan sampai sekarang adalah dari kelompok khawarrij
moderat, yakni bermukim di Oman, sebagai Tunisia (kepulauan jerba), Aljeria
(M’zab), Libia dan Tanjania (Zanzibar, yang dulu sebagai koloni Oman).[2]
Khawarrij merupakan
kelompok islam pertama yang berfikir demogratis. Bagi mereka setiap muslim yang
memenuhi persyaratan moral dapat tampil sebagai pinpinan umat. Mereka juga
menggunakan imam untuk peminpin yang ditetapkan melalui pemilihan. Berbeda
dengan syi’ah yang mewajibkan imam dari keturunan Ali dan berfungsi sebagai
perantara hubungan tuhan dan manusia. Dalam kontek ini juga mereka berbeda
dengan konteks sunni yang pada masa lalu mengharuskan iman, seorang peminpin
tertinggi Negara, dari suku Quraisy (al-imam min quraisy).
Kaum khawarrij
berpendapat bahwa terdapat kewajiban untuk melakukan perlawanan dan
pemberontakan terhadap imam yang berbuat dosa (murtakibul kabair).
Bahkan menurut doktrin mereka perbuatan sejumlah dosa besar mereka melepaskan
seseorang dari status seorang mu’min. dengan berbuat dosa besar otomatis
seseorang menjadi kafir, tanpa adanya jalan penyelesaian melalui taubat.
Menurut mereka iman yang tidak disertai perbuatan adalah sia sia, tidak ada
gunanya. Berbeda dengan sunni yang memandang yang tidak ada kesia siaan dalam
mengharapkan belas kasih dari allah. Menurut Asy’ariyyah, tuhan dengan sifat
kasihnya dapat saja melepaskan muslim yang berbuat dosa keluar dari neraka.[3]
Konsep dasar besar
kalangan khawarrij yang demikian ini agaknya merupakan sisi positifreaksi
mereka menentang kecenderungan bangsa arab yang menerima islam dari sisi
zahirnya saja tanpa disertai kesesuaian dan komitmen sisi bathin dalam
penerimaan islam. Doktrin ini juga sekaligus sebagai penerapan ideology mereka
dalam menekan pihak pihak di luar khawarrij.
Keadaan muslim sejati
bagi khawarrij identik dengan keselamatan. Islam menghendaki situasi kejiwaan
yang sempurna dan menjadi muslim sejati berarti terjamin keselamatannya. Oleh
karena itu perbuatan dosa merupakan perlawanan yang menyebabkan hilangnya
status iman, Dengan kata lain sipelaku dosa pastilah ia tidak memiliki kejiwaan
yang semporna karena ia bukan muslim sejati. Perbuatan dosa menunjukkan adanya
kekafiran di dalam bathin, oleh karena itu orang tersebut bisa saja di bunuh, Orang
orang diluar khawarrij juga kafir dan layak dibunuh. Doktrin ini merupakan poin
utama yang ditentang di dalam kitab fiqh al-Akbar karya abu hanifah.[4]
Pandangan ekstrim dari
khawarrij diatas menimbulkan reaksi dari kaum murjiah yang memandang bahwa
seseorang menjadi muslim cukup dengan pernyataan saja. Sementara sisi bathin
keislaman seseorang diserahkan kepada keputusan tuhan dihari pengadilan
masyarakat. Bagi abu hanifah ‘’tidak seorang pun dapat ditetapkan sebagai kafir
lantara dosa yang di perbuatnya’’.[5]
Khawarrij tidak
mengakui otoritas seorang khalifah setelah terjadi keputusan ali menerima
arbitrase (mereka juga tidak mengakui ke khalifaan utsman). Bahkan lebih jauh
mereka memandang musuh musuhnya tidak beriman dan perusak islam dan akhirnya
mereka memutuskan untuk tidak hidup bersama dengan orang orang di luar
khawarrij. Hanya kelompok ibadiyyah sajalah yang bersikap moderat dalam masalah
ini, kelompok lainnya menjadi ekstrim dan akhirnya tidak mampu bertahan.
Para ulama
berbeda didalam menetapkan jumlah kelompok atau sekte khawarrij, ada yang
menyebut lebih dari 20 seperti dikatakan Abu Musa Al-Asy’ari, Al-Bagdadi
menyebut 20, Al-Syahrastani menyebut 18, Musthafa Al-Syak’ah menyebut 8, Harun
Nasution menyebut 6, diantara kelompok tersebut adalah sebagai berikut.
Al-muhakkimah, menurut
khawarrij asli berasal dari para pengikut ali yang yang membangkang. Term Al-mukarromah
terambil dari semboyan mereka la hukma illa lillah (menetapkan hukum itu
hanyalah hak allah) yang merajuk pada suroh Al-An’am ayat 57 (in hukmu illa
lillah). Mereka menolak arbitrasi atau tahkim karena di anggap nertentangan
dengan perintah allah dalam surah Al-Hujurat
ayat 9 (faqotilullati tabghy hatta tafi’a ila amr allah), yang menyuruh
memerangi kelompok pembangkangan sampai mereka kembali kejalan allah swt, dalam
kelompok ini, ali dan mu’awiyyah serta setiap orang yang menyetujui arbitrase
di tuduh oleh kafir karena telah menyimpang dari ajaran islam seperti tercantum
dalam surah Al-Maidah ayat 44. kemudian mereka juga menganggap kafir pelaku
dosa besar seperti pembunuh tanpa alasan yang sah dan pelaku perzinaan.
Al-Azariqah, kelompok ini
muncul sekitar 60 H (akhir pada ke 7 M) di daerah perbatasan antara irak dan
iran, term Al-Azariqoh di nisbahkan kepada pendirinya Nafi’ bin
Azraq al-hanafi Alhanzali, sebagai
khalifah, Nafi’ di gelari amirul mu’minin, menurut al-bagdadi, pendukungnya
lebih dari 20 ribu orang, tidak seperti al-muhakkimah, al-azaroqoh membawa
paham yang lebih ekstrim, diantaraanya bahwa setiap orang yang menolak ajaran
al-azaroqoh di anggap musrik, semua orang islam yang musrik boleh di tawan dan
dibunuh anak istri merteka, sebab itulah banyak mereka melakukan pembunuhan sesama
umat islam yang berada di luar daerah mereka, di sebut Dar al-islam, daerah
di luarnya di sebut Dar al-kufri.
Al-annajat, adalah kelompok
yang dipimpin oleh Najdah bin Amir al-Hanafi, penguasa daerah yamamah dan
bahrein, kemunculan kelompok ini merupakan reaksi terhadap pendapat Nafi’yang
mereka tolak adalah tentang musryiknya
dan bolehnya di bunuh orang orang al-Azariqah yang tidak mau berhijirah
kedalam wilayah al-Azariqah. Pengukit al-Najdah memandang nafi’telah menjadi
kufur, begitu pula orang orang yang mengakuinya sebagai khalifah. Paham teologi
al-Najdah yang terpenting adalah bahwa orang islam yang tidak sepaham dengan
merekaa dianggap kafir, masuk dan kekal di dalam neraka. Sementara pengikut
al-Najdah sendiri tidak akan kekal dineraka meskipun melakukan dosa besar.
Selanjutnya menurut mereka dosa kecil dapat meningkat menjadi dosa besar jika
dilakukan terus menerus. Mereka juga menganut paham taqiyyah, bahwa
sebelum keselamatan diri seseorang boleh menyembunyikan identitas keimanannya,
dalam konteks ini seseorang boleh berbuat dan mengatakan sesuatu yang
bertentangan dengan keyakinannya. Dalam perkembangan berikutnya sekte ini
mengalami perpecahan. Beberapa tokoh pentingnya seperti Abu Fudaik dan Rasyid
al-Tawil menentang al-Najdah yang berakhirndengan terbunuhnya Najdat pada tahun
69/688.
Al-Ajaridah pimpinan Abd
al-karim al-ajarrad, kelompok ini moderat dari al-Azariqah, menurut mereka
tidak wajib berhijirah ke wilayah al-azariqah seperti dikatakan Nafi’, tidak boleh
merampas harta dalam pepernagan kecuali musuh terbunuh, anak anak kecil tidak
musryik, bagi mereka al-Qur’an sebagai kitab suci tidak layak memuat cerita
cerita percintaan seperti yang terdapat dalam surat Yusuf oleh karena itu surat
yusuf bukan dari bagian al-Qur’an.
Al-Sufriyah, berasal dari
nama pinpinannya Zaid bin Asfar, pendapatnya yang penting adalah bahwa istilah kufr
atau kafir mengandung dua arti yaitu kufr ‘an ni’mah (mengingkari
nikmat allah)dan kufr bi allah (mengingkari tuhan). Untuk arti pertama
kafir tidak berarti keluar dari islam, mengenai taqiyyah mereka hanya
membolehkan dalam bentuk perkataan, dan tidak boleh dalam bentuk ketindakan,
kecuali wanita boleh menikah dengan kafir bila nyawanya terancam, jadi kelompok
ini mirif dengan al-Azariqah hanya sedikit lebih lunak.
Al-Ibadiyyah, dimunculkan
oleh Abdullah bin ibad al-murri al-tamimi pada tahun 686, ajaran mereka yang
terpenting antara lain bahwa pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan mu’min,
melaikan muahhidin, sebagaimana kafir nikmat ia tidak sampai keluar dari
islam, bagi mereka Dar al-kufr hanyalah markas pemerintahan dan itulah
yang mesti diperangi, selainnya di sebut Dar at tauhid, yaitu daerah
yang dikuasai oleh orang orang islam karenanya tidak boleh di perangi. Mengenai
harta yang boleh di rampas dalam perang adalah kuda dan alat perang.
Berdasarkan ini mereka adalah sekte paling moderat dalam khawarrij.
Berdasarkan sejarah, khawarrij merupakan alirang paling
awal muncul dalam islam yang menetapkan bahwa mukmin pelaku dosa besar (murtakibul
kabair) mutlak terlepas dari statusnya sebagai muslim.
[1] . Prof. Dr. H. Ilhamuddin Nasution MA ,Sejarah Perkembangan Islam
SPPI, Medan, La.Tansa Press, Cet 1 2013 hlm 89
[3] . Prof. Dr. H. Ilhamuddin Nasution, MA “Ilmu Kalam Ditengah
Perkembangan Kepercayaan Dan Peradaban Manusia” Medan, Duta Azhar , 2012
hlm 63
[4] Ibid hlm 64
[5] . Prof. Dr. H. Ilhamuddin Nasution MA ,Sejarah Perkembangan Islam
SPPI, Medan, La.Tansa Press, Cet 1 2013