Senin, 09 Desember 2013

Sejarah Perkembangan Pemikiran Aliran Khawarij


BAB I
PENDAHULUAN
Khawarij dalam bahasa arab adalah bentuk jama’ dari kata kharij, artinya keluar. Khawaris adalah aliran yang muncul sebagai penentang kelompok ali dan mu’awiyah sebagai akses perundingan damai yang berlangsung menjelang berakhirnya prang shiffin. Pada awalnya kaum khawarij berpihak kepada ali, tetapi ketika terjai kesepakatan bahwasanya seksesi khilafah hendaknya diselesaikan melalui meja perundingan, maka mereka melepaskan diri dari pihak ali. Itulah sebabnya mereka disebut khawarij, yaitu orang orang yang melepaskan diri.
Dalam pandangan mereka permasalahan yang mereka hadapi tidak bisa diselesaikan dalam perundingan, sesuai dengan firman allah dalam Surat Al-maidah ayat 44
Artinya:  Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang orang yang kafir. Q.S. Al-Maidah Ayat 44
Berdasarkan ini mereka meneriakkan prinsip la hukma illa allah. Pandangan utama aliran ini adalah puritisme, yakni sekap pandangan bernostalgia dengan kekhilafaan umar, mereka ini dapat disebut sebagai mu’min terdahulu. Banyak diantara merekan yang qurra’ yakni  ahli baca al qur’an. Doktrin mereka mengenai dosa merupakan corak khas dari ajaran khawarrij yang dimunculkan oleh salah satu nama kelompok bernama ‘’Azraqiyyah’’ sekitar tahun 74/693.






BAB II
PEMBAHASAN
Gerakan khawarrij, cenderung bercorak populis, tampil sebagai oposisi terhadap segala ancaman kekerasan khilafah kerajaan bangsa arab. Subremasi bangsa arab terlihat pada praktek perubahan status muslim non arab kepada suku suku arab dan pada wktu bersamaan memaksakan masing masing dari non arab agar bernaung pada seorang ‘’pelindung” arab. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menciptakan keadaan status umat islam, setiap muslim non arab kedudukannya sebagai kilen (maula) bagi bangsa arab , sekalipun sesungguhnya kebijakan ali sendiri sangat berbeda dengan kebijakan ini, bagi Ali setiap muslim punya kedudukan yang sama, jadi penurunan drajat masyarakat non arab secara umum pada status inforor ini, wajar jika kebencian kalangan non muslim arab sehingga mendorong sikap mereka bersekutu dengan grakan grakan lainnya yang muncul pada saat itu dalam perjuangan menumpas segala bentuk kezaliman.[1]
Awalnya ali mengabaikan ancaman khawarrij karena pokus pada perlawanan terhadap kekuatan mu’awiyyah, namun akhirnya pecah perang antara pasukan ali dan khawarrij di Nahawan. Banyak khawarrij yang terbunuh, sisanya melarikan diri dan merahasiakan gerakan mereka. Ali sendiri akhirnya menjadi korban pembunuhan di Mesjid Kufah oleh seorang khawarrij yang bernama Ibn Muljam, yang dikabarkan mendapat order membunuh ali dari seorang wanitayang menjanjikan akan menikahkan ibn muljam dengan anak gadisnya sebagai imbalan.
Selama 400 tahun khawarrij menjadi biang keladi kerusuhan dan permusuhan terhadap khalifah, mereka yang masih bertahan sampai sekarang adalah dari kelompok khawarrij moderat, yakni bermukim di Oman, sebagai Tunisia (kepulauan jerba), Aljeria (M’zab), Libia dan Tanjania (Zanzibar, yang dulu sebagai koloni Oman).[2]
Khawarrij merupakan kelompok islam pertama yang berfikir demogratis. Bagi mereka setiap muslim yang memenuhi persyaratan moral dapat tampil sebagai pinpinan umat. Mereka juga menggunakan imam untuk peminpin yang ditetapkan melalui pemilihan. Berbeda dengan syi’ah yang mewajibkan imam dari keturunan Ali dan berfungsi sebagai perantara hubungan tuhan dan manusia. Dalam kontek ini juga mereka berbeda dengan konteks sunni yang pada masa lalu mengharuskan iman, seorang peminpin tertinggi Negara, dari suku Quraisy (al-imam min quraisy).
Kaum khawarrij berpendapat bahwa terdapat kewajiban untuk melakukan perlawanan dan pemberontakan terhadap imam yang berbuat dosa (murtakibul kabair). Bahkan menurut doktrin mereka perbuatan sejumlah dosa besar mereka melepaskan seseorang dari status seorang mu’min. dengan berbuat dosa besar otomatis seseorang menjadi kafir, tanpa adanya jalan penyelesaian melalui taubat. Menurut mereka iman yang tidak disertai perbuatan adalah sia sia, tidak ada gunanya. Berbeda dengan sunni yang memandang yang tidak ada kesia siaan dalam mengharapkan belas kasih dari allah. Menurut Asy’ariyyah, tuhan dengan sifat kasihnya dapat saja melepaskan muslim yang berbuat dosa keluar dari neraka.[3]
Konsep dasar besar kalangan khawarrij yang demikian ini agaknya merupakan sisi positifreaksi mereka menentang kecenderungan bangsa arab yang menerima islam dari sisi zahirnya saja tanpa disertai kesesuaian dan komitmen sisi bathin dalam penerimaan islam. Doktrin ini juga sekaligus sebagai penerapan ideology mereka dalam menekan pihak pihak di luar khawarrij.
Keadaan muslim sejati bagi khawarrij identik dengan keselamatan. Islam menghendaki situasi kejiwaan yang sempurna dan menjadi muslim sejati berarti terjamin keselamatannya. Oleh karena itu perbuatan dosa merupakan perlawanan yang menyebabkan hilangnya status iman, Dengan kata lain sipelaku dosa pastilah ia tidak memiliki kejiwaan yang semporna karena ia bukan muslim sejati. Perbuatan dosa menunjukkan adanya kekafiran di dalam bathin, oleh karena itu orang tersebut bisa saja di bunuh, Orang orang diluar khawarrij juga kafir dan layak dibunuh. Doktrin ini merupakan poin utama yang ditentang di dalam kitab fiqh al-Akbar karya abu hanifah.[4]
Pandangan ekstrim dari khawarrij diatas menimbulkan reaksi dari kaum murjiah yang memandang bahwa seseorang menjadi muslim cukup dengan pernyataan saja. Sementara sisi bathin keislaman seseorang diserahkan kepada keputusan tuhan dihari pengadilan masyarakat. Bagi abu hanifah ‘’tidak seorang pun dapat ditetapkan sebagai kafir lantara dosa yang di perbuatnya’’.[5]
Khawarrij tidak mengakui otoritas seorang khalifah setelah terjadi keputusan ali menerima arbitrase (mereka juga tidak mengakui ke khalifaan utsman). Bahkan lebih jauh mereka memandang musuh musuhnya tidak beriman dan perusak islam dan akhirnya mereka memutuskan untuk tidak hidup bersama dengan orang orang di luar khawarrij. Hanya kelompok ibadiyyah sajalah yang bersikap moderat dalam masalah ini, kelompok lainnya menjadi ekstrim dan akhirnya tidak mampu bertahan.
Para ulama berbeda didalam menetapkan jumlah kelompok atau sekte khawarrij, ada yang menyebut lebih dari 20 seperti dikatakan Abu Musa Al-Asy’ari, Al-Bagdadi menyebut 20, Al-Syahrastani menyebut 18, Musthafa Al-Syak’ah menyebut 8, Harun Nasution menyebut 6, diantara kelompok tersebut adalah sebagai berikut.
Al-muhakkimah, menurut khawarrij asli berasal dari para pengikut ali yang yang membangkang. Term Al-mukarromah terambil dari semboyan mereka la hukma illa lillah (menetapkan hukum itu hanyalah hak allah) yang merajuk pada suroh Al-An’am ayat 57 (in hukmu illa lillah). Mereka menolak arbitrasi atau tahkim karena di anggap nertentangan dengan perintah allah  dalam surah Al-Hujurat ayat 9 (faqotilullati tabghy hatta tafi’a ila amr allah), yang menyuruh memerangi kelompok pembangkangan sampai mereka kembali kejalan allah swt, dalam kelompok ini, ali dan mu’awiyyah serta setiap orang yang menyetujui arbitrase di tuduh oleh kafir karena telah menyimpang dari ajaran islam seperti tercantum dalam surah Al-Maidah ayat 44. kemudian mereka juga menganggap kafir pelaku dosa besar seperti pembunuh tanpa alasan yang sah dan pelaku perzinaan.
Al-Azariqah, kelompok ini muncul sekitar 60 H (akhir pada ke 7 M) di daerah perbatasan antara irak dan iran, term Al-Azariqoh di nisbahkan kepada pendirinya Nafi’ bin Azraq  al-hanafi Alhanzali, sebagai khalifah, Nafi’ di gelari amirul mu’minin, menurut al-bagdadi, pendukungnya lebih dari 20 ribu orang, tidak seperti al-muhakkimah, al-azaroqoh membawa paham yang lebih ekstrim, diantaraanya bahwa setiap orang yang menolak ajaran al-azaroqoh di anggap musrik, semua orang islam yang musrik boleh di tawan dan dibunuh anak istri merteka, sebab itulah banyak mereka melakukan pembunuhan sesama umat islam yang berada di luar daerah mereka, di sebut Dar al-islam, daerah di luarnya di sebut Dar al-kufri.
Al-annajat, adalah kelompok yang dipimpin oleh Najdah bin Amir al-Hanafi, penguasa daerah yamamah dan bahrein, kemunculan kelompok ini merupakan reaksi terhadap pendapat Nafi’yang mereka tolak adalah tentang musryiknya  dan bolehnya di bunuh orang orang al-Azariqah yang tidak mau berhijirah kedalam wilayah al-Azariqah. Pengukit al-Najdah memandang nafi’telah menjadi kufur, begitu pula orang orang yang mengakuinya sebagai khalifah. Paham teologi al-Najdah yang terpenting adalah bahwa orang islam yang tidak sepaham dengan merekaa dianggap kafir, masuk dan kekal di dalam neraka. Sementara pengikut al-Najdah sendiri tidak akan kekal dineraka meskipun melakukan dosa besar. Selanjutnya menurut mereka dosa kecil dapat meningkat menjadi dosa besar jika dilakukan terus menerus. Mereka juga menganut paham taqiyyah, bahwa sebelum keselamatan diri seseorang boleh menyembunyikan identitas keimanannya, dalam konteks ini seseorang boleh berbuat dan mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinannya. Dalam perkembangan berikutnya sekte ini mengalami perpecahan. Beberapa tokoh pentingnya seperti Abu Fudaik dan Rasyid al-Tawil menentang al-Najdah yang berakhirndengan terbunuhnya Najdat pada tahun 69/688.
Al-Ajaridah pimpinan Abd al-karim al-ajarrad, kelompok ini moderat dari al-Azariqah, menurut mereka tidak wajib berhijirah ke wilayah al-azariqah seperti dikatakan Nafi’, tidak boleh merampas harta dalam pepernagan kecuali musuh terbunuh, anak anak kecil tidak musryik, bagi mereka al-Qur’an sebagai kitab suci tidak layak memuat cerita cerita percintaan seperti yang terdapat dalam surat Yusuf oleh karena itu surat yusuf bukan dari bagian al-Qur’an.
Al-Sufriyah, berasal dari nama pinpinannya Zaid bin Asfar, pendapatnya yang penting adalah bahwa istilah kufr atau kafir mengandung dua arti yaitu kufr ‘an ni’mah (mengingkari nikmat allah)dan kufr bi allah (mengingkari tuhan). Untuk arti pertama kafir tidak berarti keluar dari islam, mengenai taqiyyah mereka hanya membolehkan dalam bentuk perkataan, dan tidak boleh dalam bentuk ketindakan, kecuali wanita boleh menikah dengan kafir bila nyawanya terancam, jadi kelompok ini mirif dengan al-Azariqah hanya sedikit lebih lunak.
Al-Ibadiyyah, dimunculkan oleh Abdullah bin ibad al-murri al-tamimi pada tahun 686, ajaran mereka yang terpenting antara lain bahwa pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan mu’min, melaikan muahhidin, sebagaimana kafir nikmat ia tidak sampai keluar dari islam, bagi mereka Dar al-kufr hanyalah markas pemerintahan dan itulah yang mesti diperangi, selainnya di sebut Dar at tauhid, yaitu daerah yang dikuasai oleh orang orang islam karenanya tidak boleh di perangi. Mengenai harta yang boleh di rampas dalam perang adalah kuda dan alat perang. Berdasarkan ini mereka adalah sekte paling moderat dalam khawarrij.
Berdasarkan sejarah, khawarrij merupakan alirang paling awal muncul dalam islam yang menetapkan bahwa mukmin pelaku dosa besar (murtakibul kabair) mutlak terlepas dari statusnya sebagai muslim.




[1] . Prof. Dr. H. Ilhamuddin Nasution MA ,Sejarah Perkembangan Islam SPPI, Medan, La.Tansa Press, Cet 1 2013 hlm 89
[2] . Ibid. hlm 89
[3] . Prof. Dr. H. Ilhamuddin Nasution, MA “Ilmu Kalam Ditengah Perkembangan Kepercayaan Dan Peradaban Manusia” Medan, Duta Azhar , 2012 hlm 63
[4] Ibid hlm 64
[5] . Prof. Dr. H. Ilhamuddin Nasution MA ,Sejarah Perkembangan Islam SPPI, Medan, La.Tansa Press, Cet 1 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar