Rabu, 26 Maret 2014

Psikologi Agama Agama Pada Anak


I.         PENDAHULUAN
Perkembangan (development) adalah serangkaian perubahan progresif yang terjadi akibat proses kematangan dan pengalaman. Perkembangan dapat juga diartikan sebagai perubahan perubahan yang dialami oleh individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya (maturation) yang berlangsung secara sistematis (saling kebergantungan atau saling mempengaruhi antara bagian bagian organisme dan merupakan suatu kesatuan yang utuh), progresif (bersifat maju, meningkat dan mendalam baik secara kuantitatif maupun kualitatif) dan berkesinambungan.
Selain berbagai macam kebutuhan, masih ada lagi satu kebutuhan manusia, yang sangat diperhatikan yaitu kebutuhan terhadap agama, sehingga manusia disebut sebagai mahkluk yang beragama (homo religious)[1]
Didalam buku Netty Hertati, yang berjudul Islam Dan Psikologi Menjelaskan adanya 3 teori pendekatan yang dilakukan untuk lebih memahami berbagai hal mengenai perkembangan, yaitu:
1.      Pendekatan perkembangan kognitif, yang mempunyai asumsi bahwa kemampuan kognitif merupakan suatu yang sangat fundamental yang membimbing tingkah laku individu. Dalam pendekatan ini ada tiga buah model, yaitu:
·         Model kognitif piaget, dengan asumsi bahwa perkembangan manusia dapat digambarkan dalam konsep fungsi dan struktur.
·         Model pemrosesan informasi, yang merumuskan bahwa kognitif manusia sebagai suatu sistem, terdiri dari input berupa rangsangan yang masuk dalam reseptor.
·         Model kognisi sosial, yang menekankan pengaruh pengalaman sosial terhadap perkembangan kognitif.
2.      Pendekatan belajar atau lingkungan, yakni tingkah laku individu diperoleh melalui pengkondisian dan prinsip prinsip belajar.
3.      Pendekatan etologi, yang merupakan studi perkembangan dari perspektif evolusioner yang didasarkan pada  prinsip prinsip yang diajukan oleh Carles Darwin, yang merujuk kepada asal usul biologis tentang tingkah laku sosial.
II. PEMBAHASAN
A.    PERKEMBANGAN JIWA ANAK
Perkembangan terhadap agama dalam ajaran agama islam adalah adanya kebutuhan terhadap agama disebabkan manusia selaku mahluk tuhan dibekali dengan berbagai potensi (fitrah) yang dibawa sebab lahir, fitrah berarti kecenderungan terhadap agama islam.[2]
Sebagaimana Nabi SAW bersabda:
ما من مولود الا يولد على الفطرة فابواه يهودانه او ينصره او يمجسانه
Tiap tiap anak dilahirkan dalam keadaan Fitrah, maka ibu bapaknya lah yang mendidiknya menjadi orang yang beragama yahudi, nasrani dan majusi.
Pada dasarnya manusia lahir dalam keadaan fitrah (potensi beragama), hanya faktor lingkungan (orang tua) yang mempengaruhi perkembangan fitrah beragama anak. Dari sini, jiwa keagamaan anak berkaitan erat dengan hereditas (keturunan) yang bersumber dari orangtua, termasuk keturunan beragama.
Dalam pembagian tahap perkembangan manusia, maka masa remaja menduduki tahab progressif, dalam pembagian yang agak terurai masa remaja mencakup masa: juvenilitas (adolescantium), pubertas dan nubilitas.
Perkembangan agama pada anak sangat ditentukan oleh lingkungan, baik pengalaman atau pendidikan di sekolah.  Di rumah pengalaman kegamaan pada anak mengikuti pola keagamaan orang tua. Praktek keagamaan yang benar oleh orang tua akan menjadi keuntungan sendiri bagi anak perihal agamanya ketika dewasa. Sebaliknya, keagamaan seorang anak tidak baik jika semasa kecilnya ia tidak di perkenalkan agama secara baik. Sumber jiwa agama menurut islam dapat ditemukan dalam surat Ar- Ruum ayat: 30
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ  
Artinya: “ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, Tetaplah atas fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu, Itulah agama yang lurus, tapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar- Rum:30).
Masa pertumbuhan anak anak terjadi pada usia 0-12 tahun, kondisi dan sikap orang tua telah mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan anaknya, meskipun pengaruh tergadap pertumbuha jiwa keagamaan anaknya, sebagian pendapat bahwa ketika anak dilahirkan ia bukanlah mahluk yang religious bagi mereka akan tetapi anak seekor kera bersifat kemanusiaaan dari pada bayi manusia itu sendiri.
Berdasarkan sejak masa kandungan pun, orang tua harus memasukkan nilai keagamaan pada diri anak bersama dengan pertumbuhan pribadinya Sebab melalui orang tua dan lingkungan keluarganyalah si anak mulai mengenal tuhannya. Kata kata sikap, tindakan, dan perbuatan orang tua sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan keagamaan pada anak, meskipun belum biasa berbicara, sianak dapat melihat dan mendengar kata kata, walau secara verbal belum mengetahui magnanyadia dapat memahaminya dari ekspresi orang tua ketika mengucapkannya.[3]
B.     TIMBULNYA AGAMA PADA ANAK
Bahasa merupakan tahan awal seorang anak mengenal tuhan.[4] Semula nama tuhan dikenal secara acuh tak acuh. Selanjutnya ia akan merasakan kegelisahan setelah melihat orang orang dewa menunjukkan rada kagum dan takut kepada tuhan. Ia akan gelisah dan ragu tentang adanya yang gaib yang tidak dapat dilihatnya. Ia akan mengikuti dengan mengulang ulang apa yang dibaca oleh orang dewasa. Lambat laun, tanpa sadar, pemikiran tentang tuhan akan masuk dalam dirinya dan menjadi pembinaan kepribadiannya.[5]
Terlepas dari dualisme pendapat mengenai keberadaan kejiwaan agama yang baru dilahirkan, apakah sebagai mahkluk religious atau bukan, kenyataan teks teks dan pengalaman keagamaan yang dilalui manusia menunjukkan bahwa agama yang dilahirkan pun telah mambawa fitrah keagamaan, meskipun fungsinya baru tampak setelah berada pada tahap kematangan dikemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan.[6]
Zakiah Derajat mengatakan, semula tuhan bagi anak merupakan hal yang asing yang diragukan kebaikan niatnya. Hal ini disebabkan oleh pengalaman kesenagan atau kesusahan belum dirasakan oleh seorang anak. Namun setelah ia menyaksikan orang dewasa yang disertai emosi atau perasaan tertentu dalam memandang tuhan, perlahan lahan perhatiannya terhadap tuhan mulai tumbuh.
Bahkan pada tahap awal, pengalaman tentang tuhan merupakan hal yang tidak disenangi karena merupakan ancaman bagi integritas kepribadiannya. Itulah sebabnya, menurut Zakiah, seorang anak sering menanyakan tentang dzat, tempat dan perbuatan tuhan untuk mengurangi kegelisahannya.
Jawaban yang diterima oleh anak atas pertanyaan yang ia ajukannya dengan puas sepanjang jawaban itu serasi. Jawaban yang tidak serasi akan membawa pada keragu raguan dan pandangan skeptis pada masa remaja. Oleh karena itu, apa yang dipercayai seorang anak tergantung pada apa yang diajarkan oleh orang tua di rumah dan seorang guru di sekolah.
C.    PERKEMBANGAN AGAMA PADA ANAK
Sebelum membahas perkembangan agama pada anak akan dikemukakan terlebih dahulu teori pertumbuhan agama pada anak itu sendiri. Teori mengenai pertumbuhan agama pada anak itu antara lain:
1.      Rasa ketergantungan (Sense of Depende)
Teori ini dikemukakan oleh Thomas melalui teori Four Wishes. Menurutnya manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan yaitu : keinginan untuk perlindungan (security), keinginan akan pengalaman baru (new experience), keinginan untuk mendapat tanggapan (response) dan keinginan untuk dikenal (recognition). Berdasarkan kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan hidup dalam ketergantungan. Melalui pengalaman pengalaman yang diterimanya dari lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
2.      Instink Keagamaan
Menurut Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink di antaranya instink keagamaan. Belum terlihat tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya instink itu belum sempurna. Misalnya instink sosial pada anak sebagai potensi bawaannya sebagai makhluk homo socius, baru berfungsi setelah mereka dapat bergaul dan berkembang untuk berkomunikasi. Jadi instink sosial itu tergantung dari kematangan fungsi lainnya. Demikian pula instink keagamaan.
D.     SIFAT AGAMA PADA ANAK
Sesuai dengan ciri yang dimiliki, maka sifat agama pada anak anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on outhority, ide keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka. Orang tua mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka miliki. Bagi mereka sangat mudah untuk menerima ajaran dari orang dewasa walaupun belum mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut.
Berdasarkan hal itu maka bentuk dan sifat agama pada diri anak sebagaimana ditulis oleh Jalaluddin dalam buku Psikologi Agama dapat dibagi sebagai berikut:
1.      Unreflective ( Tiak mendalam)
Dalam penelitian Machion tentang jumlah konsep ke Tuhanan pada diri anak 73 % mereka menganggap Tuhan itu bersifat seperti manusia. Dalam suatu sekolah bahkan ada siswa yang mengatakan bahwa Santa Klaus memotong jenggotnya untuk membuat bantal. Dengan demikian anggapan mereka terhadap ajara agama dapat saja mereka terima dengan tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam sehingga cukup. dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang kadang kurang masuk akal. Meskipun demikian pada beberapa orang anak terdapat mereka yang memiliki ketajaman pikiran  untuk menimbang pendapat yang mereka terima dari orang lain.
2.      Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka tumbuh keraguan pada rasa egonya. Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egoisnya. Sehubungan dengan hal itu maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya. Seorang anak yang kurang mendapat kasih sayang dan selalu mengalami tekanan akan bersifat kekanak kanakan (childish) dan memiliki sifat ego yang rendah. Hal yang demikian mengganggu pertumbuhan keagamaannya.
3.      Anthromorphis
Pada umumnya konsep mengenai ke Tuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya yang berhubungan dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan bahwa konsep ke Tuhanan mereka tampak jelas menggambarkan aspek aspek kemanusiaan. Melalui konsep yang berbentuk dalam pikiran mereka menganggap bahwa perikeadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Pekerjaan Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat di saat orang itu berada dalam tempat yang gelap.
4.  Imitatif
Dalam kehidupan sehari hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdoa dan sholat misalnya mereka laksanakan karena hasil melihat perbuatan di lingkungan, baik berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif. Pada ahli jiwa menganggap, bahwa dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak.[7]











III.        KESIMPULAN
Anak sangat ditentukan oleh lingkungan, baik pengalaman atau pendidikan di sekolah.  Di rumah pengalaman kegamaan pada anak mengikuti pola keagamaan orang tua. Praktek keagamaan yang benar oleh orang tua akan menjadi keuntungan sendiri bagi anak perihal agamanya ketika dewasa. Sebaliknya, keagamaan seorang anak tidak baik jika semasa kecilnya ia tidak di perkenalkan agama secara baik. Peran orang tua sangat menentukan keberagamaan anak.
Di sekolah, keagamaan anak ditentukan oleh guru agama. Dasar agama di lingkungan keluarga akan dikembangkan di sekolah sesuai tingkat pengetahuannya. Semakin bertambah umur mereka, semakin bertambah pula konsep agama yang mereka miliki. Semula mereka hanya mengenal tuhan melalui fantasi dan emosinya, ketika di sekolah ia akan mengenal tuhan secara formal sebagaimana diajarkan oleh guru mereka.
Pada tahapan ini, mereka sangat tertarik untuk mempelajari agama. Sebagaimana dikatakan Jalaluddin dalam buku psikologi agama, anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan  yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala bentuk tindak (amal) keagamaan mereka ikuti dan mempelajarinya dengan penuh minat. Dengan demikian, penting kiranya pendidikan agama pada anak agar menjadi orang yang taat terhadap ajaran agama setelah ia dewasa.














IV.             DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Ramayulis ‘’Psikologi Agama’’ Radar Jaya Offset Jakarta. 2007
Drs. Bambang Syamsul Arifin, Msi. “Psikologo agama” Pustaka Setia Bandung
Darajat Zakiah”Ilmu Jiwa Agama” (Bulan Bintang: Jakarta)
Ahyadi, Abdul Aziz ‘Psikologi Agama” Kepribadian Muslim Pancasila, Bandung: Sinar Biru. 1991
AE. Afifi, “FilsafatMistis Ibnu Arabi” ter.Sjahrir mawi Jakarta: Gaya Media pratama, 1989
Ibid
ttp://ahmadsulaimanpai3.blogspot.com/2013/03/perkembangan-jiwa-beragama-pada-anak.html


[1] . Prof. Dr. H. Ramayulis ‘’Psikologi Agama’’ Radar Jaya Offset Jakarta. Hlm 46
[2] . Ibid. Hlm 51
[3] Drs. Bambang Syamsul Arifin, Msi. Psikologo agama pustaka setia bandung hlm 47
[4] Darajat Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, (Bulan Bintang: Jakarta), 1979 Hlm 48
[5] Ibid Hlm 49
[6] Drs. Bambang Syamsul Arifin, Msi. Psikologo agama pustaka setia bandung hlm: 48-49

Tidak ada komentar:

Posting Komentar