I.
PENDAHULUAN
Perkembangan (development)
adalah serangkaian perubahan progresif yang terjadi akibat proses kematangan
dan pengalaman. Perkembangan dapat juga diartikan sebagai perubahan perubahan
yang dialami oleh individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya atau
kematangannya (maturation) yang berlangsung secara sistematis (saling
kebergantungan atau saling mempengaruhi antara bagian bagian organisme dan
merupakan suatu kesatuan yang utuh), progresif (bersifat maju, meningkat dan
mendalam baik secara kuantitatif maupun kualitatif) dan berkesinambungan.
Selain berbagai macam kebutuhan, masih
ada lagi satu kebutuhan manusia, yang sangat diperhatikan yaitu kebutuhan
terhadap agama, sehingga manusia disebut sebagai mahkluk yang beragama (homo
religious)[1]
Didalam buku Netty Hertati, yang
berjudul Islam Dan Psikologi Menjelaskan adanya 3 teori pendekatan
yang dilakukan untuk lebih memahami berbagai hal mengenai perkembangan, yaitu:
1. Pendekatan perkembangan
kognitif, yang mempunyai asumsi bahwa kemampuan kognitif merupakan suatu yang
sangat fundamental yang membimbing tingkah laku individu. Dalam pendekatan ini
ada tiga buah model, yaitu:
·
Model kognitif piaget, dengan asumsi bahwa perkembangan manusia
dapat digambarkan dalam konsep fungsi dan struktur.
·
Model pemrosesan informasi, yang merumuskan bahwa kognitif manusia
sebagai suatu sistem, terdiri dari input berupa rangsangan yang masuk dalam
reseptor.
·
Model kognisi sosial, yang menekankan pengaruh pengalaman sosial
terhadap perkembangan kognitif.
2. Pendekatan belajar atau
lingkungan, yakni tingkah laku individu diperoleh melalui pengkondisian dan
prinsip prinsip belajar.
3. Pendekatan etologi, yang
merupakan studi perkembangan dari perspektif evolusioner yang didasarkan
pada prinsip prinsip yang diajukan oleh Carles Darwin, yang merujuk
kepada asal usul biologis tentang tingkah laku sosial.
II. PEMBAHASAN
A. PERKEMBANGAN JIWA ANAK
Perkembangan terhadap agama dalam
ajaran agama islam adalah adanya kebutuhan terhadap agama disebabkan manusia
selaku mahluk tuhan dibekali dengan berbagai potensi (fitrah) yang dibawa sebab
lahir, fitrah berarti kecenderungan terhadap agama islam.[2]
Sebagaimana Nabi SAW bersabda:
ما من مولود الا يولد على الفطرة فابواه
يهودانه او ينصره او يمجسانه
Tiap tiap anak dilahirkan dalam keadaan Fitrah, maka ibu bapaknya
lah yang mendidiknya menjadi orang yang beragama yahudi, nasrani dan majusi.
Pada dasarnya manusia lahir dalam
keadaan fitrah (potensi beragama), hanya faktor lingkungan (orang tua) yang
mempengaruhi perkembangan fitrah beragama anak. Dari sini, jiwa keagamaan anak
berkaitan erat dengan hereditas (keturunan) yang bersumber dari orangtua,
termasuk keturunan beragama.
Dalam pembagian tahap perkembangan
manusia, maka masa remaja menduduki tahab progressif, dalam pembagian yang agak
terurai masa remaja mencakup masa: juvenilitas (adolescantium), pubertas dan
nubilitas.
Perkembangan agama pada anak sangat
ditentukan oleh lingkungan, baik pengalaman atau pendidikan di sekolah.
Di rumah pengalaman kegamaan pada anak mengikuti pola keagamaan orang tua.
Praktek keagamaan yang benar oleh orang tua akan menjadi keuntungan sendiri
bagi anak perihal agamanya ketika dewasa. Sebaliknya,
keagamaan seorang anak tidak baik jika semasa kecilnya ia tidak di perkenalkan
agama secara baik. Sumber jiwa agama menurut islam dapat ditemukan dalam surat
Ar- Ruum ayat: 30
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pkön=tæ 4
w @Ïö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 Ï9ºs ÚúïÏe$!$# ÞOÍhs)ø9$# ÆÅ3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w tbqßJn=ôèt ÇÌÉÈ
Artinya: “ Maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus kepada agama Allah, Tetaplah atas fitrah Allah yang menciptakan
manusia menurut fitrah itu, Itulah agama yang lurus, tapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui” (QS. Ar- Rum:30).
Masa pertumbuhan anak anak terjadi
pada usia 0-12 tahun, kondisi dan sikap orang tua telah mempunyai pengaruh
terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan anaknya, meskipun pengaruh tergadap
pertumbuha jiwa keagamaan anaknya, sebagian pendapat bahwa ketika anak
dilahirkan ia bukanlah mahluk yang religious bagi mereka akan tetapi anak
seekor kera bersifat kemanusiaaan dari pada bayi manusia itu sendiri.
Berdasarkan sejak masa kandungan
pun, orang tua harus memasukkan nilai keagamaan pada diri anak bersama dengan
pertumbuhan pribadinya Sebab melalui orang tua dan lingkungan keluarganyalah si
anak mulai mengenal tuhannya. Kata kata sikap, tindakan, dan perbuatan orang
tua sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan keagamaan pada
anak, meskipun belum biasa berbicara, sianak dapat melihat dan mendengar kata
kata, walau secara verbal belum mengetahui magnanyadia dapat memahaminya dari
ekspresi orang tua ketika mengucapkannya.[3]
B. TIMBULNYA AGAMA PADA ANAK
Bahasa merupakan tahan awal seorang
anak mengenal tuhan.[4] Semula
nama tuhan dikenal secara acuh tak acuh. Selanjutnya ia akan merasakan
kegelisahan setelah melihat orang orang dewa menunjukkan rada kagum dan takut kepada
tuhan. Ia akan gelisah dan ragu tentang adanya yang gaib yang tidak dapat
dilihatnya. Ia akan mengikuti dengan mengulang ulang apa yang dibaca oleh orang
dewasa. Lambat laun, tanpa sadar, pemikiran tentang tuhan akan masuk dalam
dirinya dan menjadi pembinaan kepribadiannya.[5]
Terlepas dari dualisme pendapat
mengenai keberadaan kejiwaan agama yang baru dilahirkan, apakah sebagai mahkluk
religious atau bukan, kenyataan teks teks dan pengalaman keagamaan yang dilalui
manusia menunjukkan bahwa agama yang dilahirkan pun telah mambawa fitrah
keagamaan, meskipun fungsinya baru tampak setelah berada pada tahap kematangan
dikemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan.[6]
Zakiah Derajat mengatakan, semula tuhan
bagi anak merupakan hal yang asing yang diragukan kebaikan niatnya. Hal ini
disebabkan oleh pengalaman kesenagan atau kesusahan belum dirasakan oleh
seorang anak. Namun setelah ia menyaksikan orang dewasa yang disertai emosi
atau perasaan tertentu dalam memandang tuhan, perlahan lahan perhatiannya
terhadap tuhan mulai tumbuh.
Bahkan pada tahap awal, pengalaman
tentang tuhan merupakan hal yang tidak disenangi karena merupakan ancaman bagi
integritas kepribadiannya. Itulah sebabnya, menurut Zakiah, seorang anak sering
menanyakan tentang dzat, tempat dan perbuatan tuhan untuk mengurangi
kegelisahannya.
Jawaban yang diterima oleh anak atas
pertanyaan yang ia ajukannya dengan puas sepanjang jawaban itu serasi. Jawaban
yang tidak serasi akan membawa pada keragu raguan dan pandangan skeptis pada
masa remaja. Oleh karena itu, apa yang dipercayai seorang anak tergantung pada
apa yang diajarkan oleh orang tua di rumah dan seorang guru di sekolah.
C. PERKEMBANGAN AGAMA PADA ANAK
Sebelum membahas perkembangan agama
pada anak akan dikemukakan terlebih dahulu teori pertumbuhan agama pada anak
itu sendiri. Teori mengenai pertumbuhan agama pada anak itu antara lain:
1. Rasa ketergantungan (Sense of
Depende)
Teori ini dikemukakan oleh Thomas
melalui teori Four Wishes. Menurutnya manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki
empat keinginan yaitu : keinginan untuk perlindungan (security), keinginan akan
pengalaman baru (new experience), keinginan untuk mendapat tanggapan (response)
dan keinginan untuk dikenal (recognition). Berdasarkan kenyataan dan kerjasama
dari keempat keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan hidup dalam
ketergantungan. Melalui pengalaman pengalaman yang diterimanya dari lingkungan
itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
2. Instink Keagamaan
Menurut Woodworth, bayi yang
dilahirkan sudah memiliki beberapa instink di antaranya instink keagamaan.
Belum terlihat tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan
yang menopang kematangan berfungsinya instink itu belum sempurna. Misalnya
instink sosial pada anak sebagai potensi bawaannya sebagai makhluk homo socius,
baru berfungsi setelah mereka dapat bergaul dan berkembang untuk berkomunikasi.
Jadi instink sosial itu tergantung dari kematangan fungsi lainnya. Demikian
pula instink keagamaan.
D. SIFAT AGAMA PADA ANAK
Sesuai dengan ciri yang dimiliki,
maka sifat agama pada anak anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on
outhority, ide keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh faktor dari luar
diri mereka. Orang tua mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai dengan prinsip
eksplorasi yang mereka miliki. Bagi mereka sangat mudah untuk menerima ajaran
dari orang dewasa walaupun belum mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran
tersebut.
Berdasarkan hal itu maka bentuk dan
sifat agama pada diri anak sebagaimana ditulis oleh Jalaluddin dalam buku Psikologi
Agama dapat dibagi sebagai berikut:
1. Unreflective ( Tiak mendalam)
Dalam penelitian Machion tentang
jumlah konsep ke Tuhanan pada diri anak 73 % mereka menganggap Tuhan itu bersifat
seperti manusia. Dalam suatu sekolah bahkan ada siswa yang mengatakan bahwa
Santa Klaus memotong jenggotnya untuk membuat bantal. Dengan demikian anggapan
mereka terhadap ajara agama dapat saja mereka terima dengan tanpa kritik.
Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam sehingga cukup. dan mereka
sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang kadang kurang masuk akal.
Meskipun demikian pada beberapa orang anak terdapat mereka yang memiliki
ketajaman pikiran untuk menimbang pendapat yang mereka terima dari orang
lain.
2. Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri
sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan
dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur
pada diri anak, maka tumbuh keraguan pada rasa egonya. Semakin bertumbuh
semakin meningkat pula egoisnya. Sehubungan dengan hal itu maka dalam masalah
keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep
keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya. Seorang anak yang
kurang mendapat kasih sayang dan selalu mengalami tekanan akan bersifat kekanak
kanakan (childish) dan memiliki sifat ego yang rendah. Hal yang demikian mengganggu
pertumbuhan keagamaannya.
3. Anthromorphis
Pada umumnya konsep mengenai ke
Tuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya yang berhubungan dengan
orang lain. Tapi suatu kenyataan bahwa konsep ke Tuhanan mereka tampak jelas
menggambarkan aspek aspek kemanusiaan. Melalui konsep yang berbentuk dalam
pikiran mereka menganggap bahwa perikeadaan Tuhan itu sama dengan manusia.
Pekerjaan Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat di saat orang
itu berada dalam tempat yang gelap.
4. Imitatif
Dalam kehidupan sehari hari dapat
kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak anak pada
dasarnya diperoleh dari meniru. Berdoa dan sholat misalnya mereka laksanakan
karena hasil melihat perbuatan di lingkungan, baik berupa pembiasaan ataupun
pengajaran yang intensif. Pada ahli jiwa menganggap, bahwa dalam segala hal
anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan modal yang positif
dalam pendidikan keagamaan pada anak.[7]
III.
KESIMPULAN
Anak sangat ditentukan oleh
lingkungan, baik pengalaman atau pendidikan di sekolah. Di rumah pengalaman
kegamaan pada anak mengikuti pola keagamaan orang tua. Praktek keagamaan yang
benar oleh orang tua akan menjadi keuntungan sendiri bagi anak perihal agamanya
ketika dewasa. Sebaliknya, keagamaan seorang anak tidak baik jika semasa
kecilnya ia tidak di perkenalkan agama secara baik. Peran orang tua sangat
menentukan keberagamaan anak.
Di sekolah, keagamaan anak
ditentukan oleh guru agama. Dasar agama di lingkungan keluarga akan
dikembangkan di sekolah sesuai tingkat pengetahuannya. Semakin bertambah umur
mereka, semakin bertambah pula konsep agama yang mereka miliki. Semula mereka
hanya mengenal tuhan melalui fantasi dan emosinya, ketika di sekolah ia akan
mengenal tuhan secara formal sebagaimana diajarkan oleh guru mereka.
Pada tahapan ini, mereka sangat
tertarik untuk mempelajari agama. Sebagaimana dikatakan Jalaluddin dalam buku
psikologi agama, anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan
yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala
bentuk tindak (amal) keagamaan mereka ikuti dan mempelajarinya dengan penuh
minat. Dengan demikian, penting kiranya pendidikan agama pada anak agar menjadi
orang yang taat terhadap ajaran agama setelah ia dewasa.
IV.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Ramayulis ‘’Psikologi
Agama’’ Radar Jaya Offset Jakarta. 2007
Drs. Bambang Syamsul Arifin, Msi. “Psikologo
agama” Pustaka Setia Bandung
Darajat Zakiah”Ilmu Jiwa Agama”
(Bulan Bintang: Jakarta)
Ahyadi, Abdul Aziz ‘Psikologi
Agama” Kepribadian Muslim Pancasila, Bandung: Sinar Biru. 1991
AE. Afifi, “FilsafatMistis Ibnu
Arabi” ter.Sjahrir mawi Jakarta: Gaya Media pratama, 1989
Ibid
ttp://ahmadsulaimanpai3.blogspot.com/2013/03/perkembangan-jiwa-beragama-pada-anak.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar