Rabu, 21 Januari 2015

MAKALAH HADIS OLEH PANGANJUR HARAHAP



BAB I
PENDAHULUAN
          Sebagai sumber ajaran Islam yang kedua Al-Qur’an, keberadaan hadis, disamping telah mewarnai masyarakat dalam berbagai kehidupannya, juga telah menjadi bahasan kajian yang menarik, dan tiada henti-hentinya. Penelitian terhadap hadis baik dari segi keotentikannya, kandungan makna dan ajaran yang terdapat didalamnya, macam-macam tingkatanya maupun fungsinya dalam menjelaskan kandungan Al-qur’an dan lain sebagainya telah banyak dilakukan para ahli di bidangnya.
          Hasil-hasil penelitian dan kajian para ahli tersebut selanjutnya, telah didokumentasikan dan dipublikasikan baik kepada kalangan akademis diperguruan-perguruan tinggi, bahkan madrasah maupun pada kalangan masyarakat pada umumnya. Bagi kalangan akademis, adanya berbagai hasil penelitian hadis tersebut telah membuka peluang untuk diwujudkannya suatu disiplin kajian Islam, yaitu bidang studi hadis.
          Sejalan dengan pemikiran tersebut, maka pada bab ini pembaca akan diajak melakukan studi terhadap model-model penelitian hadis dengan terlebih dahulu mengemukakan pengertian hadis sebagaimana terlihat pada uraian berikut ini.










BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN HADIS
            Pada garis besarnya pengertian hadis dapat dilihat melalui dua pendekatan, pendekatan kebahasaan (linguisik) dan pendekatan istilah (terminologis).
            Dilihat dari pendekatan kebahasaan, hadis berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata hadatsa, yahdutsu, hadtsan, haditsan dengan pengertian yang bermacam-macam. Kata tersebut misalnya dapat berarti al-jadid min al-asy ya’ sesuatu yang baru, sebagai lawan dari kata al-qadim yang artinya sesuatu yang sudah kuno atau klasik.
            Selanjutnya, kata al-hadits dapat pula berarti al-qarib yang berarti menunjukkan pada waktu yang dekat atau waktu yang singkat. Untuk ini kita dapat melihat pada contoh hadits al-ahd bi al-Islam yang berarti yang baru masuk Islam.
            Kata al-hadis kemudian dapat pula berarti al-khabar yang berarti mayutahaddats bih wa yunqal, yaitu sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan, atau diberitakan, dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain.[1]
            Dari ketiga arti kata al-hadits tersebut, nampaknya yang banyak digunakan adalah pengertian ketiga, yaitu sesuatu yang diperbincangan atau al-hadits dalam arti al-khabar.
            Hadits dengan pengertian al-khabar ini banyak ditemukan pemakaiannya di dalam AL-Qur’an. Kita misalnya menemukan ayat-ayat yang mengandung kata al-hadits dalam arti al-khabar berikut ini:




            Artinya:          
          Maka hendaklah mereka mendatangkan khabar (berita) yang serupa dengan Al-Qur’an itu jika mereka mengaku orang-orang yang benar. (QS.Al-Thur,52:34).
          Selanjutnya, hadis dilihat dari segi pengertian istilah-istilah dijumpai pendapat yang berbeda-beda. Hal ini antara lain disebabkan karena perbedaan cara pandang yang digunakan oleh masing-masing dalam melihat suatu masalah. Para ulama ahli hadis misalnya berpendapat bahwa hadis adalah ucapan. Perbuatan dan keadaan Nabi Muhammad Saw. Sementara ulama ahli hadis lainnya seperti Al-Thiby berpendapat bahwa hadis bukan hanya perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullaah Saw, akan tetapi termasuk perkataan,perbuatan, dan ketetapan para sahabat dan tabi’in. Dalam kaitan ini ulama ahli fiqih berpendapat bahwa hadis adalah syar’iyah untuk perbuatan yang dituntut mengerjakannya, akan tetapi tuntutan melaksanakannya tidak secara pasti, sehingga diberi pahala orang yang mengerjakannya dan tidak disiksa orang yang meninggalkannya.
            Di antara pemikiran yang mendasari terjadinya perbedaan dalam mendefenisikan hadis diatas antara lain, karena perbedaan mereka dalam memandang pribadi Rasullullah Saw. Jika ulama ahli hadis memandang Rasullullah Saw. Sebagai yang patut diteladani dan dijadikan contoh yang baik (uswatun hasanah), apa saja yang berasal dari nabi dapat diterima sebagai hadis; sedangkan ulama ahli uhsul memandang pribadi Rasullullah Saw. Sebagai pengaturan undang-undang kehidupan (dustur al-hayat) dan menciptakan dasar-dasar bagi para mujtahid yang akan hidup sesudahnya.
            Dikalangan para ulama terdapat pula perbedaan pendapat di sekitar istilah hadits, khabar, dan atsar. Pada umumnya para ulama berpendapat bahwa hadis dan khabar mempunyai pengertian yang sama, yaitu berita baik yang berasal dari nabi, sahabat, maupun tabi’in. Berita berasal dari nabi mereka sebut hadis marfu; berita yang berasal dari sahabat mereka sebut hadis mauquf; dan berita yang berasal dari tabi’in mereka sebuah hadis maqtu.
            Lanjutnya, ada pula yang berpendapat bahwa khabar cakupannya lebih umum dari pada hadis. Khabar mencakup segala berita yang berasal dari nabi, sahabat atau tabi’in. Sedangkan hadis cakupannya hanya sesuatu yang berasal dari nabi saja. Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa atsar cakupannya lebih luas dari pada khabar. Atsar meliputi segala yang datang dari nabi dan selainnya; sedangkan khabar cakupannya hanya sesuatu yang datang dari nabi saja.
            Di kalangan para ulama juga terdapat perbedaan pendapat pemahaman disekitar pengertian hadis dan sunnah. Hadis ialah segala peristiwa yang didasarkan kepada Nabi Saw. Walaupun hanya sekali saja terjadi sepanjang hidupnya dan walaupun diriwayatkan oleh seorang saja. Sedangkan sunnah adalah suatu istilah yang mengacu kepada perbuatan yang mutawatir, yakni cara Rasullullah Saw. Melaksanakan suatu ibadah yang dinukilkan kepada kita dengan amaliyah yang mutawatir pula.
             

B.     PENULISAN HADIST
Para penulis sejarah Rasul, ulama hadis, dan umat Islam semuanya sependapat menetapkan bahwa AI-Quranul Karim memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan para sahabatnya. Rasul mengharapkan para sahabatnya untuk menghapalkan AI-Quran dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, di batu-batu, dan sebagainya. Ketika Rasulullah SAW  wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu, ayat-ayat suci AI-Quran seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya saja belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran. 
Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena tidak diperintahkan oleh Rasul sebagaimana ia memerintahkan mereka untuk menulis AI-Quran. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis-hadis yang pernah mereka dengar dari Rasulullah SAW. Diantara sahabat-sahabat Rasulullah yang mempunyai catatan-catatan hadis Rasulullah adalah Abdullah bin Amr bin AS yang menulis, sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah. Sebagian sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh Abdullah itu Mereka beralasan bahwa Rasulullah telah bersabda.



Artinya:
“Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al- Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al- Quran, hendaklah dihapuskan. ” (HR. Muslim)

Dan mereka berkata kepadanya, “Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syariat umum.” Mendengar ucapan mereka itu, Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. mengenai hal tersebut. 
Rasulullah kemudian bersabda:



Artinya:
“Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku di tangannya. tidak keluar dari mulutku. selain kebenaran “.
Menurut suatu riwayat, diterangkan bahwa Ali mempunyai sebuah sahifah dan Anas bin Malik mempunyai sebuah buku catatan. Abu Hurairah menyatakan: “Tidak ada dari seorang sahabat Nabi yang lebih banyak (lebih mengetahui) hadis Rasulullah daripadaku, selain Abdullah bin Amr bin As. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya”
Oleh karena itu, setelah Al-Quran ditulis dengan sempurna dan telah lengkap pula turunannya, maka tidak ada larangan untuk menulis hadis. Tegasnya antara dua hadis Rasulullah di atas tidak ada pertentangan manakala kita memahami bahwa larangan itu hanya berlaku untuk orang-orang tertentu yang dikhawatirkan mencampurkan AI-Quran dengan hadis, dan mereka yang mempunyai ingatan/kuat hapalannya
Hadits sebagaimana diketahui, merupakan sumber hukum kedua dalam susunan sumber hukum Islam setelah al-Qur'an. Hadits merupakan media yang sangat penting, dan menarik karena begitu banyaknya hadits yang ada dan telah rasulullah saw tinggalkan sebagai pegangan bagi ummatnya

Kapankah hadits mulai ditulis?
Pada hakekatnya hadits dimulai penulisannya pada masa rasulullah saw, sebagaimana diriwayatkan bahwasanya beliau saw berkata kepada 'abdullah bin 'Amru: tulislah..
Dan juga beliau memerintahkan para sahabatnya untuk menulis hadits-hadits beliau, dan diantara para penulis haditsnya yang dapat dikutip disini adalah:
1. Note 'ali: note ini ditulis oleh 'Ali bin Abi Thalib ra dimana dicantumkan tentang berbagai hal seperti perlakuan kepada para sandra, pembebasan serta fidyah. Dan tidak adanya qashash bagi pembunuh muslim yang membunuh seorang kafir.
2. Note kejujuran: note ini ditulis oleh 'Abdullah bin 'Amru bin al-'Aash yang mencantumkan didalamnya berbagai hukum, dan  menerangkan ayat-ayat mujmlalah dalam  alqur'an
3. Abu Bakar ra
4. Wael bin Hajar ra
5. 'Amru bin Jazm...dll.



C.    Jalan Menerima Hadits dan Bentuk Penyampaiannya
Yang dimaksud dengan “jalan menerima hadits” (thuruq al-tahammul) adalah cara-cara menerima hadits dan mengambilnya dari syaikh.
Dan yang dimaksud dengan ‘’bentuk penyampaian’’ (shiqhah al-ada’) adalah lafazh-lafazh yang digunakan oleh ahli hadits dalam meriwayatkan hadits dan menyampaikannya kepada muridnya, misalnya: ‘’sami’tu...’’ (aku telah mendengar), atau ‘’haddatsani’’ (telah bercerita kepadaku), atau yang semisal dengannya.
Dalam menerima hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Inilah pendapat yang benar, namun ketika menyampaikannya disyaratkan Islam dan baligh. Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk Islam atau  sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan bagi yang belum baligh. Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun. Namun yang benar adalah cukup dengan batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar itulah tamyiz atau mumayyiz. Jika tidak, maka haditsnya ditolak.
Jalan untuk menerima hadits ada delapan, as-sama’ atau mendengarkan lafazh syaikh, al-qira’ah atau membaca kepada syaikh, al-ijazah, al-munawalah, al-kitabah, al-I’am, al-washiyyah, dan al-wijadah. Berikut ini penjelasannya berikut lafazh-lafazh penyampaian masing-masing.
1.    As-sama’ atau mendengarkan lafazh guru:
Gambarannya: seorang guru membaca dan murid mendengarkan, baik guru membaca dari lafalannya atau tulisannya, dan baik murid mendengar dan menulis apa yang didengarkannya, atau mendengarkan saja dan tidak menulis. Menurut jumhur ulama, as-sama’ ini merupakan bagian yang paling tinggi dalam pengambilan hadits.
Lafazh-lafazh penyampaian hadits dengan cara ini adalah:’’ aku telah mendengar dan telah menceritakan kepadaku’’. Jika perawinya banyak: ‘’kami telah mendengarkan dan telah menceritakan kepada kami’’. Ini menunjukkan bahwasanya dia mendengarkan dari sang syekh bersama yang lain.
Ada pun lafazh:’’telah berkata kepadaku’’ atau ‘’telah menyebutkan kepadaku’’, lebih tepat untuk mendengarkan dalam mudzakarah pelajaran, bukan untuk mendengarkan hadits.
2.    Al-qirO’ah artinya membaca kepada syaikh. Para ahli hadits menyebutnya: ‘’Al-Ardh’’.
Bentuknya, seorang perawi membaca hadits kepada seorang syaikh, dan syaikh mendengarkan bacaannya untuk meneliti, baik perawi yang membaca atau orang lain yang membaca sedang syaikh mendengarkan, dan baik bacaan dari hafalan atau dari buku, atau baik syaikh mengikuti pembaca dari hafalannya atau memegang kitabnya sendiri atau memegang kitab orang lain yang tsiqah.
 Mereka berselisih pendapat tentang membaca kepada syaikh, apakah dia setingkat dengan as-sama’, atau lebih rendah darinya, atau lebih tinggi darinya? Yang benar adalah lebih rendah dari as-sama’.
Ketika menyampaikan hadits atau riwayat yang dibaca si perawi menggunakan lafazh-lafazh: ‘’aku telah membaca kepada fulan’’, atau ‘’telah dibacakan kepadanya dan aku mendengar orang membaca lalu ia menyetujuinya’’.
Lafazh as-sama’ berikutnya adalah yang terikat dengan lafazh qiro’ah seperti: haddatsana qirOatan’alaihi (ia menyampaikan kepada kami melalui bacaan oarang padanya). Namun yang umum menurut para ahli hadits adalah dengan menggunakan lafazh ‘’akhbarana’’ saja tanpa tambahan yang lain.
3.         Al-ijazah yaitu: seorang syaikh mengizinkan muridnya meriwayatkan hadits tau riwayat, baik dengan ucapan atau tulisan. Gambarannya seorang syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya: ‘’aku izinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian’’. Di antara macam-macam ijazah adalah:
a)      Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu. Misalnya dia berkata, ‘’Aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari’’. Di antara jenis-jenis ijazah, inilah yang paling tinggi derajatnya.
b)      Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa menentukan apa yang diijazahkan. Seperti, ‘’ Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan semua riwayatku’’.
c)      Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dengan juga tidak menentukan apa yang diijazahkan, seperti, ‘’Aku ijazahkan semua riwayatku kepada semua orang pada zamanku’’.
Bentuk yang pertama dari beberapa bentuk di atas adalah yang diperolehkan oleh jumhur ulama dan ditetapkan sebagai sesuatu yang diamalkan. Dan inilah pendapat yang benar. Sedangkan bentuk-bentuk yang lain terjadi banyak perselisihan di antara para ulama. Ada yang batil dan tidak berguna.
Lafazh-lafazh yang dipakai dalam menyampaikan dalam riwayat yang diterima dengan jalur ijazah adalah: ‘’Ajaza li fulan (beliau telah memberikan ijazah kepada si fulan), Haddatsana ijazatan, akhbarana ijazatan dan Anba’ana ijazatan (Beliau telah memberitahukan kepada kami secara ijazah).

4.    Al-Munawalah atau menyerahkan.
Al-Munawalah ada 2macam:
a)    Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara macam-macam ijazah secara mutlak. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadanya: ‘’Ini riwayatku dari fulan, maka riwayatkanlah dariku’’.kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah dari as-sama’ dan al-qari’ah.
b)   Munawalah yang tidak diiringi dengan ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan: ‘’Ini adalah riwayatku’’. Yang semacam ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih.
Lafazh-lafazh yang dipakai dalam menyampaikan hadits atau riwayat yang diterima dengan jalan munawalah ini adalah si perawi berkata: ‘’Nawalani wa ajazani’’ atau ‘’nawalani’’ atau ‘’haddatsana munawalatan wa ijazatan ‘’ atau akhbarana munawalatan.
5.    Al-Kitabah
Yaitu: Seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada orang yang hadir ditempatnya atau yang tidak hadir disitu. Kitabah ada 2 macam:
a)    Kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan sang syekh, ‘’Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu’’, atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munawalah yang disertai dengan ijazah.
b)   Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadits untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan masalah hukum periwayatannya. Sebagian tidak membolehkan dan sebagian yang lain membolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh itu sendiri.
6.    Al-I’iam (memberitahu).
Yaitu seorang syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari fulan, dengan tidak disertakan izin untuk meriwayatkan dari padanya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan dengan al-i’iam, sebagian membolehkan dan sebagian yang lain tidak membolehkannya. Ketika menyampaikan riwayat dari cara ini, si perawi berkata ‘’A’Iamani syaikhi’’ artinya: guruku telah memberitahu kepadaku.
7.    AL-Washiyyah (mewasiati)
Yaitu seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Riwayat yang seorang terima dengn jalan wasiat ini boleh dipakai menurut  sebagian ulama, namun yang benar adalah tidak boleh dipakai. Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan, ‘’Ausha ilayya fulanun washiyyatan ‘’ (fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).
8.    Al-Wijadah (mendapat)
Yaitu seorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal syaikh itu, sedangkan hadits-haditsnya tidak pernah didengarkan atau pun ditulis oleh si perawi. Wijadah ini termasuk dalam jenis hadits muntaqathi’, karena si perawi tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya.
Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapat dengan jalan wijadah ini, si perawi berkata, ‘’wajadtu bi khaththi fulani’’ (aku dapatkan buku ini dengan tulisan fulan), atau ‘’qara’tu bi khati fulanin’’ artinya (aku telah membaca buku ini dengan tulisan fulan), kemudian menyebutkan sanad dan matannya.[2]

D.    Pembagian Hadits Menurut Sandarannya
Hadits menurut sandarannya terbagi menjadi dua: maqbul (diterima) dan mardud (ditolak). Dan berdasarkan pembagian ini terbagi lagi menjadi empat macam, yaitu;
1.      Hadist Qudsi (sudah dijelaskan pada pembahasan yang lalu)
2.      Marfu’
3.      Mauquf
4.      Maqthu
Berikut ini penjelasan tiga macam hadist terakhir yang disebutkan di atas:
Marfu’
Al-Marfu’ menurut bahasa: isim maf ul dari kata rafa’a (mengangkat), dan ia sendiri berarti ‘’yang diangkat’’. Dinamakan demikian karena disandarkannya ia kepada yang memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam.
Hadist marfu’ menurut istilah adalah ‘’sabda, atau perbuatan, atau taqrir (penetapan), atau sifat yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, baik yang bersifat jelas atau pun secara hukum, baik yang menyadarkan itu sahabat atau bukan, sanadnya muttashil (bersambung) atau muntaqhi’ (terputus).
Macam-macamnya
Dari defenisi di atas, jelaslah bahwa hadist marfu’ ada 8 macam, yaitu; berupa perkataan, perbuatan, taqrir, dan sifat. Masing-masing dari empat macam ini mempunyai bagian lagi, yaitu; marfu’ secara tashrih (tegas dan jelas), dan marfu’ secara hukum. Salah satu contohnya:
Ø Perbuatan yang marfu’ secara hukum: seperti perbuatan sahabat yang tidak ada celah untuk berijtihad di dalamnya, menunjukkan bahwa hal itu bukan dari sahabat, melainkan dari Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Bukhori:’’adalah Ibnu Umar dan Ibnu Abbas berbuka puasa dan mengqashar shalat pada perjalanan empat burd.
Mauquf
Al-Mauquf berasal dari waqf yang berarti berhenti. Seakan-akan perawi menghentikan sebuah hadist pada sahabat.
Hadist Mauquf menurut istilah adalah: perkataan, perbuatan, atau taqrir yang disandarkan kepada seorang sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, baik bersambung sanadnya kepada Nabi maupun tidak bersambung.
Contohnya:
1.    Mauquf Qauli (perkataan): seperti perkataan seorang perawi, ‘’Telah berkata Ali bin Thalib Radhiyallahu Anhu, ‘’Berbicaralah kepada manusia dengan apa yang mereka ketahui, apakah kalian ingin mereka mendustakan Allah dan RasulNya?’’
2.    Mauquf Fi’li (perbuatan): seperti perkataan Imam Bukhari, ‘’Ibnu Abbas menjadi imam sedangkan dia (hanya) bertayammum.’’
3.    Mauquf Taqriri: seperti perkataan seorang tabi’in, ‘’Aku telah melakukan begini di depan seorang sahabat dan dia tidak menginkari atasku.’’
Riwayat mauquf sanadnya ada yang shahih, hasan, atau dhaif. Hukum asal pada hadits mauquf adalah tidak boleh dipakai berhujjah dalam agama, karena perkataan dan perbuatan sahabat, tetapi jika dia kuat maka dapat menguatkan sebagian hadits-hadits dhaif.
Maqthu’
Al-maqthu’ artinya yang diputuskan atau yang terputus. Hadits Maqthu’ menurut istilah yaitu perkataan dan perbuatan yang disandarkan kepada tabi’i atau orang yang di bawahnya, baik bersambung sanadnya atau tidak bersambung.
Dan perbedaan antara Al-Maqthu’ dan Al-Munqathi’, bahwasanya Al-Maqthu’ adalah bagian dari sifat matan, sedangkan Al-munqathi’ bagian dari sifat sanad. Hadits yang maqthu’ itu dari perkataan tabi’i dan orang yang dibawahnya, bisa jadi sanadnya bersambung sampai kepadanya, sedangkan yang munqathi’ sanadnya tidak bersambung dan tidak kaitanya dengan matan.
Seperti ulama hadits seperti Imam As-Syafi’i dan At-Thabarani menanamkan Al-Maqthu’ dengan Al-Munqathi’ yang tidak bersambung sanadnya, ini adalah istilah yang tidak populer, hal itu terjadi sebelum adanya penetapan istilah-istilah dalam ilmu hadits, kemudian menjadi istilah Al-Maqthu’ sebagai pembeda untuk istilah Al-Munqathi’.
Contohnya:
1.    Al-Maqthu’ Al-Qauli (yang berupa perkataan): seperti perkataan Hasan Al-Basri tentang shalat di belakang ahli bid’ah, ‘’shalatlah dan dialah yang menanggung bid’ahnya’’.
2.    Al-Maqthu’ Al-Fi’li (yang berupa perbuatan): seperti perkataan Ibrahim bin Muhammad Al-Muntasyir, ‘’Adalah Masruq membentangkan pembatas antara dia dan keluarganya, dan menghadapi shalatnya, dan juga membiarkan mereka dengan dunia mereka.’’
E.     Unsur-unsur Pokok Hadits
1.    Sanad, secara bahasa “sandaran” atau “sesuatu yang dijadikan sandaran”. Secara istilah adalah silsilah para perawi yang menyampaikan hadits dari sumbernya yang pertama. Usaha seorang ahli hadits dalam menerangkan suatu hadits yang diikuti dengan penjelasan kepada siapa hadits itu disandarkan disebut mengisnadkan hadits. Hadits yang telah diisnadkan oleh musnid (orang yang mengisnadkan) disebut dengan musnad.
2.    Matan, secara bahasa “tanah yang meninggi”. Secara istilah adalah lafazd-lafazd hadits yang mengandung makna tertentu.
3.    Rawi, secara bahasa orang yang memberitakan hadits. Secara istilah adalah orang yang menerima hadits dan kemudian yang membukukannya.

F.     Kedudukan dan Fungsi Hadits
          Kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam. Berdasarkan QS. an-Nisa: 136, Ali Imran: 32, an-Nisa: 59, al-Hasyr: 7, al-Maidah: 92, an-Nur: 54.
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada Kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya serta Kitab yang Allah turunkan sebelumnya. barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu Telah sesat sejauh-jauhnya  (QS.An-Nisa: 136).
Berdasarkan hadits Nabi: “ taraktu fiikum amraini lan tadillu abada maa in tamassaktum bihima kitaballah wa sunnata Rasulillahi(aku tinggalkan dua urusan kepadamu yang kalian tidak tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan Sunnah Rasulullah). Hadits tentang Rasulullah ketika mengutus Muazd bin Jabal untuk menjadi hakim di Yaman.
           
Fungsi hadits terhadap al-Qur’an
ü Bayan at-taqrir atau bayan at-ta’kid, atau bayan al-isbat, yaitu menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-Qur’an. Contoh: faidza raitumuuhu fashuumuu waidza raitumuuhu fa’aftiruu fain ghumma ‘alaikum faqduruu lahu (apabila kamu melihat bulan maka berpuasalah. Apabila kamu melihat bulan maka berbukalah). Hadits ini memperkuat QS. al-Baqarah: 185:
Barangsiapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa (QS. al-Baqarah: 185).
ü Bayan at-Tafsir, memberikan rincian atau tafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal, memberi taqyid kepada ayat-ayat al-Qur’an yang masih mutlak, mentakhsis ayat al-Qur’an yang masih umum. Contoh hadits “Salluu kamaa raaitumuu ni ushalli” (shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat). Hadits tersebut menjelaskan tata cara menjalankan  shalat dalam QS al-Baqarah: 43:
Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku' (QS. al-Baqarah: 43).
ü Bayan at-Tasyri’, mewujudkan suatu hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur’an. Contoh tentang hadits: “bahwasannya Rasulullah saw telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan”
ü Bayan nasakh. Secara bahasa berarti membatalkan, menghilangkan, memindahkan, atau mengubah. Secara istilah adalah dalil syara’ yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada karena datangnya kemudian. Contoh hadits: Laa wasiyyata liwaarisin (tidak ada wasiat untuk ahli waris). Menasakh  QS. al-Baqarah: 180:
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa (QS.al-Baqarah: 180).

BAB III
PENUTUP

Pada hakekatnya hadits dimulai penulisannya pada masa rasulullah saw, sebagaimana diriwayatkan bahwasanya beliau saw berkata kepada 'abdullah bin 'Amru: tulislah..Dan juga beliau memerintahkan para sahabatnya untuk menulis hadits-hadits beliau.
Berdasarkan pada hasil-hasil penelitian tersebut, maka kini ilmu hadis tumbuh menjadi salah satu disiplin ilmu keislaman. Penelitian hadis tampak masih terbuka luas terutama jika dikaitkan dengan permasalahan aktual dewasa ini. Penelitian terhadap kualitas hadis yang dipakai dalam berbagai kitab misalnya belum banyak dilakukan. Demikian pula penelitian hadis-hadis yang ada hubungannya dengan berbagai masalah aktual tampak masih terbuka luas. Berbagai pendekatan dalam memahami hadis juga belum banyak digunakan. Misalnya pendekatan sosiologi, paedagogis, antropologis, ekonomi, politik, filosofis, tampaknya belum banyak digunakan oleh para ahli peneliti hadis sebelumnya. Akibat dari keadaan demikian, tampak bahwa pemahaman masyarakat terhadap hadis pada umumnya masih bersifat parsial.












DAFTAR PUSTAKA

A.Khaer Suryaman, Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta:fakultas Tarbiah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1982)hlm: 5
H. M. Quraish Shihab,Membumikan Al-Qur’an (Bandung:Mizan 1992)cet. II, hlm 122
              Fathur Rahman, Ikhtibar Musthalah Hadits, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), cet.III.
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA. “Methodologi Study Islam” (Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada 1998).
Syaikh Manna’ Al-Qaththan “Pengantar Studi Ilmu Hadits” (penerbit:PUSTAKA AL-KAUSAR,2004)hlm. 181-185


[1] A. Khaer Suryaman, Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta:fakultas Tarbiah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1982)hlm: 5
[2] Syaikh Manna’ Al-Qaththan “Pengantar Studi Ilmu Hadits” (penerbit:PUSTAKA AL-KAUSAR,2004)hlm. 181-185

Tidak ada komentar:

Posting Komentar