BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai
sumber ajaran Islam yang kedua Al-Qur’an, keberadaan hadis, disamping telah
mewarnai masyarakat dalam berbagai kehidupannya, juga telah menjadi bahasan
kajian yang menarik, dan tiada henti-hentinya. Penelitian terhadap hadis baik
dari segi keotentikannya, kandungan makna dan ajaran yang terdapat didalamnya,
macam-macam tingkatanya maupun fungsinya dalam menjelaskan kandungan Al-qur’an
dan lain sebagainya telah banyak dilakukan para ahli di bidangnya.
Hasil-hasil penelitian dan kajian para
ahli tersebut selanjutnya, telah didokumentasikan dan dipublikasikan baik
kepada kalangan akademis diperguruan-perguruan tinggi, bahkan madrasah maupun
pada kalangan masyarakat pada umumnya. Bagi kalangan akademis, adanya berbagai
hasil penelitian hadis tersebut telah membuka peluang untuk diwujudkannya suatu
disiplin kajian Islam, yaitu bidang studi hadis.
Sejalan dengan pemikiran tersebut,
maka pada bab ini pembaca akan diajak melakukan studi terhadap model-model
penelitian hadis dengan terlebih dahulu mengemukakan pengertian hadis
sebagaimana terlihat pada uraian berikut ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
HADIS
Pada garis besarnya pengertian hadis
dapat dilihat melalui dua pendekatan, pendekatan kebahasaan (linguisik) dan
pendekatan istilah (terminologis).
Dilihat dari pendekatan kebahasaan,
hadis berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata hadatsa, yahdutsu, hadtsan, haditsan dengan pengertian yang
bermacam-macam. Kata tersebut misalnya dapat berarti al-jadid min al-asy ya’ sesuatu yang baru, sebagai lawan dari kata
al-qadim yang artinya sesuatu yang
sudah kuno atau klasik.
Selanjutnya, kata al-hadits dapat pula berarti al-qarib yang berarti menunjukkan pada
waktu yang dekat atau waktu yang singkat. Untuk ini kita dapat melihat pada
contoh hadits al-ahd bi al-Islam yang
berarti yang baru masuk Islam.
Kata al-hadis kemudian dapat pula berarti al-khabar yang berarti mayutahaddats
bih wa yunqal, yaitu sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan, atau
diberitakan, dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain.[1]
Dari ketiga arti kata al-hadits tersebut, nampaknya yang
banyak digunakan adalah pengertian ketiga, yaitu sesuatu yang diperbincangan
atau al-hadits dalam arti al-khabar.
Hadits dengan pengertian al-khabar ini banyak ditemukan
pemakaiannya di dalam AL-Qur’an. Kita misalnya menemukan ayat-ayat yang
mengandung kata al-hadits dalam arti al-khabar berikut ini:
Artinya:
Maka
hendaklah mereka mendatangkan khabar (berita) yang serupa dengan Al-Qur’an itu
jika mereka mengaku orang-orang yang benar. (QS.Al-Thur,52:34).
Selanjutnya, hadis dilihat dari segi
pengertian istilah-istilah dijumpai pendapat yang berbeda-beda. Hal ini antara
lain disebabkan karena perbedaan cara pandang yang digunakan oleh masing-masing
dalam melihat suatu masalah. Para ulama ahli hadis misalnya berpendapat bahwa
hadis adalah ucapan. Perbuatan dan keadaan Nabi Muhammad Saw. Sementara ulama
ahli hadis lainnya seperti Al-Thiby berpendapat bahwa hadis bukan hanya
perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullaah Saw, akan tetapi termasuk
perkataan,perbuatan, dan ketetapan para sahabat dan tabi’in. Dalam kaitan ini ulama ahli fiqih berpendapat bahwa hadis
adalah syar’iyah untuk perbuatan yang
dituntut mengerjakannya, akan tetapi tuntutan melaksanakannya tidak secara
pasti, sehingga diberi pahala orang yang mengerjakannya dan tidak disiksa orang
yang meninggalkannya.
Di antara pemikiran yang mendasari
terjadinya perbedaan dalam mendefenisikan hadis diatas antara lain, karena
perbedaan mereka dalam memandang pribadi Rasullullah Saw. Jika ulama ahli hadis
memandang Rasullullah Saw. Sebagai yang patut diteladani dan dijadikan contoh
yang baik (uswatun hasanah), apa saja
yang berasal dari nabi dapat diterima sebagai hadis; sedangkan ulama ahli uhsul memandang pribadi Rasullullah
Saw. Sebagai pengaturan undang-undang kehidupan (dustur al-hayat) dan menciptakan dasar-dasar bagi para mujtahid
yang akan hidup sesudahnya.
Dikalangan para ulama terdapat pula
perbedaan pendapat di sekitar istilah hadits,
khabar, dan atsar. Pada umumnya
para ulama berpendapat bahwa hadis
dan khabar mempunyai pengertian yang
sama, yaitu berita baik yang berasal dari nabi, sahabat, maupun tabi’in. Berita berasal dari nabi mereka
sebut hadis marfu; berita yang berasal dari sahabat mereka sebut hadis mauquf; dan berita yang berasal
dari tabi’in mereka sebuah hadis maqtu.
Lanjutnya, ada pula yang berpendapat
bahwa khabar cakupannya lebih umum
dari pada hadis. Khabar mencakup
segala berita yang berasal dari nabi, sahabat atau tabi’in. Sedangkan hadis cakupannya hanya sesuatu yang berasal dari
nabi saja. Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa atsar cakupannya lebih
luas dari pada khabar. Atsar meliputi segala yang datang dari
nabi dan selainnya; sedangkan khabar
cakupannya hanya sesuatu yang datang dari nabi saja.
Di kalangan para ulama juga terdapat
perbedaan pendapat pemahaman disekitar pengertian hadis dan sunnah. Hadis ialah
segala peristiwa yang didasarkan kepada Nabi Saw. Walaupun hanya sekali saja
terjadi sepanjang hidupnya dan walaupun diriwayatkan oleh seorang saja.
Sedangkan sunnah adalah suatu istilah yang mengacu kepada perbuatan yang mutawatir, yakni cara Rasullullah Saw.
Melaksanakan suatu ibadah yang dinukilkan kepada kita dengan amaliyah yang mutawatir pula.
B.
PENULISAN HADIST
Para penulis
sejarah Rasul, ulama hadis, dan umat Islam semuanya sependapat menetapkan bahwa
AI-Quranul Karim memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan para
sahabatnya. Rasul mengharapkan para sahabatnya untuk menghapalkan AI-Quran dan
menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah
kurma, di batu-batu, dan sebagainya. Ketika Rasulullah SAW wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan
sempurna oleh para sahabat. Selain itu, ayat-ayat suci AI-Quran seluruhnya
telah lengkap ditulis, hanya saja belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf.
Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu kurang memperoleh
perhatian seperti halnya Al-Quran.
Penulisan
hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena tidak
diperintahkan oleh Rasul sebagaimana ia memerintahkan mereka untuk menulis
AI-Quran. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah
SAW. Mereka mencatat sebagian hadis-hadis yang pernah mereka dengar dari
Rasulullah SAW. Diantara sahabat-sahabat Rasulullah yang mempunyai
catatan-catatan hadis Rasulullah adalah Abdullah bin Amr bin AS yang menulis,
sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah. Sebagian sahabat menyatakan
keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh Abdullah itu Mereka
beralasan bahwa Rasulullah telah bersabda.
Artinya:
“Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari
aku selain Al- Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain
Al- Quran, hendaklah dihapuskan. ” (HR. Muslim)
Dan mereka berkata kepadanya,
“Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi, padahal beliau
kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang tidak
dijadikan syariat umum.” Mendengar ucapan mereka itu, Abdullah bertanya
kepada Rasulullah SAW. mengenai hal tersebut.
Rasulullah kemudian bersabda:
Artinya:
“Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang
jiwaku di tangannya. tidak keluar dari mulutku. selain kebenaran “.
Menurut suatu riwayat, diterangkan
bahwa Ali mempunyai sebuah sahifah dan Anas bin Malik mempunyai sebuah buku
catatan. Abu Hurairah menyatakan: “Tidak ada dari seorang sahabat Nabi yang
lebih banyak (lebih mengetahui) hadis Rasulullah daripadaku, selain Abdullah
bin Amr bin As. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak
menulisnya”.
Oleh karena itu, setelah Al-Quran
ditulis dengan sempurna dan telah lengkap pula turunannya, maka tidak ada
larangan untuk menulis hadis. Tegasnya antara dua hadis Rasulullah di atas
tidak ada pertentangan manakala kita memahami bahwa larangan itu hanya berlaku
untuk orang-orang tertentu yang dikhawatirkan mencampurkan AI-Quran dengan
hadis, dan mereka yang mempunyai ingatan/kuat hapalannya
Hadits sebagaimana diketahui,
merupakan sumber hukum kedua dalam susunan sumber hukum Islam setelah
al-Qur'an. Hadits merupakan media yang sangat penting, dan menarik karena
begitu banyaknya hadits yang ada dan telah rasulullah saw tinggalkan sebagai
pegangan bagi ummatnya
Kapankah hadits mulai ditulis?
Pada hakekatnya hadits dimulai
penulisannya pada masa rasulullah saw, sebagaimana diriwayatkan bahwasanya
beliau saw berkata kepada 'abdullah bin 'Amru: tulislah..
Dan juga beliau memerintahkan para sahabatnya untuk
menulis hadits-hadits beliau, dan diantara para penulis haditsnya yang dapat
dikutip disini adalah:
1. Note 'ali: note ini ditulis oleh 'Ali bin Abi
Thalib ra dimana dicantumkan tentang berbagai hal seperti perlakuan kepada para
sandra, pembebasan serta fidyah. Dan tidak adanya qashash bagi pembunuh muslim
yang membunuh seorang kafir.
2. Note kejujuran: note ini ditulis oleh 'Abdullah bin 'Amru bin al-'Aash
yang mencantumkan didalamnya berbagai hukum, dan menerangkan ayat-ayat
mujmlalah dalam alqur'an
3. Abu Bakar ra
4. Wael bin Hajar ra
5. 'Amru bin Jazm...dll.
C.
Jalan
Menerima Hadits dan Bentuk Penyampaiannya
Yang dimaksud dengan “jalan menerima
hadits” (thuruq al-tahammul) adalah
cara-cara menerima hadits dan mengambilnya dari syaikh.
Dan yang dimaksud dengan ‘’bentuk
penyampaian’’ (shiqhah al-ada’) adalah
lafazh-lafazh yang digunakan oleh ahli hadits dalam meriwayatkan hadits dan
menyampaikannya kepada muridnya, misalnya: ‘’sami’tu...’’ (aku telah mendengar), atau ‘’haddatsani’’ (telah
bercerita kepadaku), atau yang semisal dengannya.
Dalam menerima hadits tidak
disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Inilah pendapat yang benar, namun
ketika menyampaikannya disyaratkan Islam dan baligh. Maka diterima riwayat
seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk Islam
atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan bagi yang
belum baligh. Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun.
Namun yang benar adalah cukup dengan batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat memahami pembicaraan
dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar itulah tamyiz atau mumayyiz.
Jika tidak, maka haditsnya ditolak.
Jalan untuk menerima hadits ada
delapan, as-sama’ atau mendengarkan
lafazh syaikh, al-qira’ah atau
membaca kepada syaikh, al-ijazah,
al-munawalah, al-kitabah, al-I’am, al-washiyyah, dan al-wijadah. Berikut ini penjelasannya berikut lafazh-lafazh
penyampaian masing-masing.
1. As-sama’ atau
mendengarkan lafazh guru:
Gambarannya:
seorang guru membaca dan murid mendengarkan, baik guru membaca dari lafalannya
atau tulisannya, dan baik murid mendengar dan menulis apa yang didengarkannya,
atau mendengarkan saja dan tidak menulis. Menurut jumhur ulama, as-sama’ ini merupakan bagian yang
paling tinggi dalam pengambilan hadits.
Lafazh-lafazh penyampaian hadits dengan cara ini adalah:’’ aku telah mendengar dan telah
menceritakan kepadaku’’. Jika perawinya banyak: ‘’kami telah mendengarkan dan telah menceritakan kepada kami’’. Ini
menunjukkan bahwasanya dia mendengarkan dari sang syekh bersama yang lain.
Ada pun lafazh:’’telah berkata
kepadaku’’ atau ‘’telah menyebutkan
kepadaku’’, lebih tepat untuk mendengarkan dalam mudzakarah pelajaran, bukan untuk mendengarkan hadits.
2.
Al-qirO’ah artinya membaca kepada syaikh. Para
ahli hadits menyebutnya: ‘’Al-Ardh’’.
Bentuknya, seorang perawi membaca hadits kepada seorang syaikh, dan syaikh
mendengarkan bacaannya untuk meneliti, baik perawi yang membaca atau orang lain
yang membaca sedang syaikh mendengarkan, dan baik bacaan dari hafalan atau dari
buku, atau baik syaikh mengikuti pembaca dari hafalannya atau memegang kitabnya
sendiri atau memegang kitab orang lain yang tsiqah.
Mereka berselisih pendapat tentang membaca
kepada syaikh, apakah dia setingkat dengan as-sama’,
atau lebih rendah darinya, atau lebih tinggi darinya? Yang benar adalah lebih
rendah dari as-sama’.
Ketika menyampaikan hadits atau
riwayat yang dibaca si perawi menggunakan lafazh-lafazh: ‘’aku telah membaca kepada fulan’’, atau ‘’telah dibacakan kepadanya dan aku mendengar orang membaca lalu ia menyetujuinya’’.
Lafazh as-sama’ berikutnya adalah yang terikat dengan lafazh qiro’ah seperti: haddatsana qirOatan’alaihi (ia menyampaikan kepada kami melalui
bacaan oarang padanya). Namun yang umum menurut para ahli hadits adalah dengan
menggunakan lafazh ‘’akhbarana’’ saja
tanpa tambahan yang lain.
3.
Al-ijazah yaitu: seorang syaikh mengizinkan
muridnya meriwayatkan hadits tau riwayat, baik dengan ucapan atau tulisan.
Gambarannya seorang syaikh
mengatakan kepada salah seorang muridnya: ‘’aku izinkan kepadamu untuk
meriwayatkan dariku demikian’’. Di antara macam-macam ijazah adalah:
a) Syaikh
mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu. Misalnya dia
berkata, ‘’Aku ijazahkan kepadamu Shahih
Bukhari’’. Di antara jenis-jenis ijazah, inilah yang paling tinggi
derajatnya.
b) Syaikh
mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa menentukan apa yang diijazahkan.
Seperti, ‘’ Aku ijazahkan kepadamu untuk
meriwayatkan semua riwayatku’’.
c) Syaikh
mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dengan juga tidak menentukan
apa yang diijazahkan, seperti, ‘’Aku
ijazahkan semua riwayatku kepada semua orang pada zamanku’’.
Bentuk yang
pertama dari beberapa bentuk di atas adalah yang diperolehkan oleh jumhur ulama
dan ditetapkan sebagai sesuatu yang diamalkan. Dan inilah pendapat yang benar.
Sedangkan bentuk-bentuk yang lain terjadi banyak perselisihan di antara para
ulama. Ada yang batil dan tidak berguna.
Lafazh-lafazh yang dipakai dalam menyampaikan dalam riwayat yang diterima
dengan jalur ijazah adalah: ‘’Ajaza li
fulan (beliau telah memberikan ijazah kepada si fulan), Haddatsana ijazatan, akhbarana ijazatan dan Anba’ana ijazatan (Beliau telah
memberitahukan kepada kami secara ijazah).
4.
Al-Munawalah atau menyerahkan.
Al-Munawalah
ada 2macam:
a) Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini
tingkatannya paling tinggi di antara macam-macam ijazah secara mutlak. Seperti
jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan
kepadanya: ‘’Ini riwayatku dari fulan, maka riwayatkanlah dariku’’.kemudian
buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk
disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan seperti ini, dan tingkatannya lebih
rendah dari as-sama’ dan al-qari’ah.
b) Munawalah yang tidak diiringi dengan ijazah.
Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya
mengatakan: ‘’Ini adalah riwayatku’’. Yang semacam ini tidak boleh diriwayatkan
berdasarkan pendapat yang shahih.
Lafazh-lafazh yang dipakai dalam menyampaikan hadits atau riwayat yang
diterima dengan jalan munawalah ini
adalah si perawi berkata: ‘’Nawalani wa
ajazani’’ atau ‘’nawalani’’ atau ‘’haddatsana munawalatan wa ijazatan ‘’
atau akhbarana munawalatan.
5.
Al-Kitabah
Yaitu: Seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya
kepada orang yang hadir ditempatnya atau yang tidak hadir disitu. Kitabah ada 2 macam:
a) Kitabah yang disertai dengan ijazah,
seperti perkataan sang syekh, ‘’Aku
ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu’’, atau yang semisal
dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama
kuat dengan munawalah yang disertai
dengan ijazah.
b) Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah,
seperti syaikh menulis sebagian hadits untuk muridnya dan dikirimkan tulisan
itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di sini terdapat
perselisihan masalah hukum periwayatannya. Sebagian tidak membolehkan dan
sebagian yang lain membolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut adalah
karya syaikh itu sendiri.
6.
Al-I’iam (memberitahu).
Yaitu
seorang syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini
adalah riwayatnya dari fulan, dengan tidak disertakan izin untuk meriwayatkan
dari padanya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan dengan al-i’iam, sebagian membolehkan dan
sebagian yang lain tidak membolehkannya. Ketika menyampaikan riwayat dari cara
ini, si perawi berkata ‘’A’Iamani
syaikhi’’ artinya: guruku telah memberitahu kepadaku.
7.
AL-Washiyyah (mewasiati)
Yaitu seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam
perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Riwayat yang
seorang terima dengn jalan wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian ulama, namun yang benar adalah tidak
boleh dipakai. Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan,
‘’Ausha ilayya fulanun washiyyatan ‘’
(fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).
8.
Al-Wijadah (mendapat)
Yaitu seorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan seorang
syaikh dan ia mengenal syaikh itu, sedangkan hadits-haditsnya tidak pernah
didengarkan atau pun ditulis oleh si perawi. Wijadah ini termasuk dalam jenis hadits muntaqathi’, karena si
perawi tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya.
Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapat
dengan jalan wijadah ini, si perawi
berkata, ‘’wajadtu bi khaththi fulani’’
(aku dapatkan buku ini dengan
tulisan fulan), atau ‘’qara’tu bi khati
fulanin’’ artinya (aku telah membaca buku ini dengan tulisan fulan),
kemudian menyebutkan sanad dan matannya.[2]
D. Pembagian Hadits Menurut Sandarannya
Hadits
menurut sandarannya terbagi menjadi dua: maqbul
(diterima) dan mardud (ditolak).
Dan berdasarkan pembagian ini terbagi lagi menjadi empat macam, yaitu;
1. Hadist Qudsi
(sudah dijelaskan pada pembahasan yang lalu)
2.
Marfu’
3.
Mauquf
4.
Maqthu
Berikut ini penjelasan tiga macam hadist terakhir yang disebutkan di atas:
Marfu’
Al-Marfu’ menurut
bahasa: isim maf ul dari kata rafa’a (mengangkat), dan ia sendiri
berarti ‘’yang diangkat’’. Dinamakan demikian karena disandarkannya ia kepada
yang memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa sallam.
Hadist marfu’ menurut istilah
adalah ‘’sabda, atau perbuatan, atau taqrir
(penetapan), atau sifat yang disandarkan kepada
Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam,
baik yang bersifat jelas atau pun secara hukum, baik yang menyadarkan itu
sahabat atau bukan, sanadnya muttashil (bersambung)
atau muntaqhi’ (terputus).
Macam-macamnya
Dari defenisi di atas, jelaslah bahwa hadist marfu’ ada 8 macam, yaitu; berupa perkataan, perbuatan, taqrir, dan
sifat. Masing-masing dari empat macam ini mempunyai bagian lagi, yaitu; marfu’ secara tashrih (tegas dan jelas), dan marfu’
secara hukum. Salah satu contohnya:
Ø Perbuatan
yang marfu’ secara hukum: seperti
perbuatan sahabat yang tidak ada celah untuk berijtihad di dalamnya,
menunjukkan bahwa hal itu bukan dari sahabat, melainkan dari Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam,
sebagaimana disebutkan dalam riwayat Bukhori:’’adalah Ibnu Umar dan Ibnu Abbas
berbuka puasa dan mengqashar shalat pada perjalanan empat burd.
Mauquf
Al-Mauquf berasal
dari waqf yang berarti berhenti.
Seakan-akan perawi menghentikan sebuah hadist pada sahabat.
Hadist Mauquf menurut istilah
adalah: perkataan, perbuatan, atau taqrir
yang disandarkan kepada seorang sahabat Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam, baik bersambung sanadnya kepada Nabi maupun tidak
bersambung.
Contohnya:
1. Mauquf Qauli (perkataan): seperti perkataan
seorang perawi, ‘’Telah berkata Ali bin Thalib Radhiyallahu Anhu, ‘’Berbicaralah kepada manusia dengan apa yang
mereka ketahui, apakah kalian ingin mereka mendustakan Allah dan RasulNya?’’
2. Mauquf Fi’li (perbuatan): seperti perkataan Imam
Bukhari, ‘’Ibnu Abbas menjadi imam sedangkan dia (hanya) bertayammum.’’
3. Mauquf Taqriri: seperti perkataan seorang tabi’in,
‘’Aku telah melakukan begini di depan seorang sahabat dan dia tidak menginkari
atasku.’’
Riwayat mauquf sanadnya ada yang
shahih, hasan, atau dhaif. Hukum asal pada hadits mauquf adalah tidak boleh dipakai berhujjah dalam agama, karena
perkataan dan perbuatan sahabat, tetapi jika dia kuat maka dapat menguatkan
sebagian hadits-hadits dhaif.
Maqthu’
Al-maqthu’ artinya
yang diputuskan atau yang terputus. Hadits
Maqthu’ menurut istilah yaitu perkataan dan perbuatan yang disandarkan
kepada tabi’i atau orang yang di bawahnya, baik bersambung sanadnya atau tidak
bersambung.
Dan perbedaan antara Al-Maqthu’
dan Al-Munqathi’, bahwasanya Al-Maqthu’ adalah bagian dari sifat
matan, sedangkan Al-munqathi’ bagian
dari sifat sanad. Hadits yang maqthu’ itu
dari perkataan tabi’i dan orang yang dibawahnya, bisa jadi sanadnya bersambung
sampai kepadanya, sedangkan yang munqathi’
sanadnya tidak bersambung dan tidak kaitanya dengan matan.
Seperti ulama hadits seperti Imam As-Syafi’i dan At-Thabarani menanamkan Al-Maqthu’ dengan Al-Munqathi’ yang tidak bersambung sanadnya, ini adalah istilah
yang tidak populer, hal itu terjadi sebelum adanya penetapan istilah-istilah
dalam ilmu hadits, kemudian menjadi istilah Al-Maqthu’
sebagai pembeda untuk istilah Al-Munqathi’.
Contohnya:
1. Al-Maqthu’ Al-Qauli (yang berupa perkataan): seperti
perkataan Hasan Al-Basri tentang shalat di belakang ahli bid’ah, ‘’shalatlah dan dialah yang menanggung
bid’ahnya’’.
2. Al-Maqthu’ Al-Fi’li (yang berupa perbuatan): seperti
perkataan Ibrahim bin Muhammad
Al-Muntasyir, ‘’Adalah Masruq membentangkan pembatas antara dia dan
keluarganya, dan menghadapi shalatnya, dan juga membiarkan mereka dengan dunia
mereka.’’
E.
Unsur-unsur Pokok Hadits
1.
Sanad, secara bahasa “sandaran” atau
“sesuatu yang dijadikan sandaran”. Secara istilah adalah silsilah para
perawi yang menyampaikan hadits dari sumbernya yang pertama. Usaha seorang
ahli hadits dalam menerangkan suatu hadits yang diikuti dengan penjelasan
kepada siapa hadits itu disandarkan disebut mengisnadkan hadits.
Hadits yang telah diisnadkan oleh musnid (orang yang
mengisnadkan) disebut dengan musnad.
2.
Matan, secara bahasa “tanah yang
meninggi”. Secara istilah adalah lafazd-lafazd hadits yang mengandung makna
tertentu.
3.
Rawi, secara bahasa orang yang
memberitakan hadits. Secara istilah adalah orang yang menerima hadits dan
kemudian yang membukukannya.
F.
Kedudukan dan Fungsi Hadits
Kedudukan
hadits sebagai sumber hukum Islam. Berdasarkan QS. an-Nisa: 136, Ali
Imran: 32, an-Nisa: 59, al-Hasyr: 7, al-Maidah: 92, an-Nur: 54.
Wahai
orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan
kepada Kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya serta Kitab yang Allah
turunkan sebelumnya. barangsiapa yang kafir kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian,
Maka Sesungguhnya orang itu Telah sesat sejauh-jauhnya (QS.An-Nisa:
136).
Berdasarkan hadits Nabi: “
taraktu fiikum amraini lan tadillu abada
maa in tamassaktum bihima
kitaballah wa sunnata Rasulillahi”(aku
tinggalkan dua urusan kepadamu yang kalian tidak tersesat selagi kamu berpegang
teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan Sunnah Rasulullah). Hadits
tentang Rasulullah ketika mengutus Muazd bin Jabal untuk menjadi hakim di
Yaman.
Fungsi
hadits terhadap al-Qur’an
ü Bayan
at-taqrir atau bayan at-ta’kid, atau bayan al-isbat, yaitu
menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-Qur’an.
Contoh: faidza raitumuuhu fashuumuu waidza raitumuuhu fa’aftiruu fain ghumma
‘alaikum faqduruu lahu (apabila kamu melihat bulan maka berpuasalah.
Apabila kamu melihat bulan maka berbukalah). Hadits ini memperkuat QS.
al-Baqarah: 185:
Barangsiapa yang mempersaksikan pada
waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa (QS. al-Baqarah: 185).
ü Bayan
at-Tafsir, memberikan rincian atau tafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih
mujmal, memberi taqyid kepada ayat-ayat al-Qur’an yang masih mutlak, mentakhsis
ayat al-Qur’an yang masih umum. Contoh hadits “Salluu kamaa raaitumuu ni
ushalli” (shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat). Hadits tersebut
menjelaskan tata cara menjalankan shalat dalam QS al-Baqarah: 43:
Dan
Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang
ruku' (QS. al-Baqarah: 43).
ü Bayan at-Tasyri’, mewujudkan suatu hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur’an. Contoh tentang
hadits: “bahwasannya Rasulullah saw telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat
Islam pada bulan Ramadhan satu sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang, baik
merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan”
ü Bayan nasakh. Secara
bahasa berarti membatalkan, menghilangkan, memindahkan, atau mengubah. Secara
istilah adalah dalil syara’ yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada
karena datangnya kemudian. Contoh hadits: Laa wasiyyata liwaarisin
(tidak ada wasiat untuk ahli waris). Menasakh QS. al-Baqarah: 180:
Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa
(QS.al-Baqarah: 180).
BAB III
PENUTUP
Pada hakekatnya hadits dimulai
penulisannya pada masa rasulullah saw, sebagaimana diriwayatkan bahwasanya
beliau saw berkata kepada 'abdullah bin 'Amru: tulislah..Dan juga beliau
memerintahkan para sahabatnya untuk menulis hadits-hadits beliau.
Berdasarkan pada
hasil-hasil penelitian tersebut, maka kini ilmu hadis tumbuh menjadi salah satu
disiplin ilmu keislaman. Penelitian hadis tampak masih terbuka luas terutama
jika dikaitkan dengan permasalahan aktual dewasa ini. Penelitian terhadap
kualitas hadis yang dipakai dalam berbagai kitab misalnya belum banyak
dilakukan. Demikian pula penelitian hadis-hadis yang ada hubungannya dengan
berbagai masalah aktual tampak masih terbuka luas. Berbagai pendekatan dalam
memahami hadis juga belum banyak digunakan. Misalnya pendekatan sosiologi,
paedagogis, antropologis, ekonomi, politik, filosofis, tampaknya belum banyak
digunakan oleh para ahli peneliti hadis sebelumnya. Akibat dari keadaan
demikian, tampak bahwa pemahaman masyarakat terhadap hadis pada umumnya masih
bersifat parsial.
DAFTAR PUSTAKA
A.Khaer Suryaman, Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta:fakultas
Tarbiah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1982)hlm: 5
H.
M. Quraish Shihab,Membumikan Al-Qur’an (Bandung:Mizan
1992)cet. II, hlm 122
Fathur
Rahman, Ikhtibar Musthalah Hadits, (Bandung:
Al-Ma’arif, 1981), cet.III.
Prof.
Dr. H. Abuddin Nata, MA. “Methodologi
Study Islam” (Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada 1998).
Syaikh Manna’
Al-Qaththan “Pengantar Studi Ilmu Hadits”
(penerbit:PUSTAKA AL-KAUSAR,2004)hlm. 181-185
Tidak ada komentar:
Posting Komentar