BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap bentuk-bentuk komunikasi adalah sebuah
drama. Karenanya seorang pembicara hendaknya mampu mendramatisir (membuat
jama’ah merasa tertarik) terhadap pembicara, sedangkan menurut Walter Fisher
bahwa setiap komunikasi adalah bentuk dari cerita (storytelling).
Karenanya, jika seseorang mampu bercerita sesungguhnya maka ia punya potensi
untuk berceramah dan untuk menjadi muballigh. Sebagaimana dalam berdakwah itu
sendiri dibutuhkan retorika-retorika yang dapat membuat dakwah seseorang lebih
mengena, efisien dan efektif. Terutama dalam menyosialisasikan ajaran-ajaran
Islam. Maka retorika itu harus biasa dikuasai oleh seseorang yang hendak
berdakwah. Dalam kaitan antara retorika dan dakwah, di sini pemakalah akan mencoba
membahas mengenai keduanya.[1]
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang
dimaksud dengan retorika dakwah?
2. Apa urgensi
retorika dalam dakwah?
·
Definisi
Retorika
Retorika
berasal dari bahasa Yunani “RHETOR” atau bahasa Inggris “ORATOR” yang berarti
“kemahiran dalam berbicara dihadapan umum”. I Gusti Ngurah Oka, memberikan definisi sebagai berikut“Ilmu yang
mengajarkan tindak dan usahayang untuk dalam persiapan, kerjasama, serta
kedamaian ditengah masyarakat”. Dengan demikian termasuk dalam cakupan
pengertian
·
Urgensi Retorika
Retorika
adalah seni berbicara kemahiran dan kelancaran berbicara kemampuan memproduksi
gagasan kemampuan mensosialisasikan sehingga mampu mempengaruhi audience.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
PERSIAPAN MATERI
Komunikasi
merupakan sebuah keterampilan dan seni yang membutuhkan pembelajaran dan juga
pengalaman. Menurut ilmu psikologi, komunikasi adalah apa yang dikomunikasikan
dapat dipahami langsung oleh yang ditujukan. Bila seorang da’i ingin diterima
oleh orang lain, khususnya objek dakwah, maka keterampilan dalam berkomunikasi
merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Untuk itu, seorang da’i
harus memiliki persiapan dalam mengikat hati objek dakwah
a. Percaya Diri
Menguasai
bahan materi yanga akan disampaikan dengan teliti. Jangan sampai naik panggung
tanpa persiapan, menyeberangi lautan tanpa perahu, apalagi menjadi da’i tanpa
persiapan sama sekali. Jadi, semua bermula dari membaca
Apa yang keluar dari hati akan
sampai ke hati, apa yang keluar dari lisan hanya akan sampai di telinga saja.
Untuk itu, da’i perlu power untuk berbicara dari hati ke hati, yakni
memperbanyak amalan-amalan kepada Allah SWT. Insya Allah, apa yang
dikomunikasikan dapat mengena ke dalam hati objek dakwah. Bersikap ikhlaslah
untuk menerima kelebihan dan kekurangan orang lain. Persiapkan hati dalam
menerima hal-hal baru yang mungkin berbeda dengan apa yang diketahui selama
ini. Setelah mengetahui persiapan apa saja yang dibutuhkan, dalam berkomunikasi
juga diperlukan suatu trik atau tips khusus agar komunikasi dapat berjalan
efektif dalam mengikat hati objek dakwah.[2]
Berikut ini adalah tips-tips dalam
berkomunikasi untuk memikat hati objek dakwah; Berkata benar dengan cara yang
menarik. Perkataan hendaklah diisi dengan mendakwahkan kebenaran dan harus
dikemas dengan baik. Sebab kebenaran yang tidak dikemas dengan “apik” akan
kalah dengan kebatilan yang dikemas dengan menarik.
Pesan yang dikomunikasikan harus
simple dan jelas. Ini menjadi seni tersendiri dari seorang da’i untuk
menyuarakan kebenaran dan kesegaran yang mudah dipahami dan kaya arti. Aisyah
r.a. berkata, “Sesungguhnya perkataan Rasulullah SAW cukup jelas dan mudah
dimengerti oleh setiap pendengarnya”. (H.r. Abu Dawud). Bicara itu perlu seni.
Dalam berkomunikasi diperlukan seni karena seni dapat dinikmati dan berkesan di
hati. Pecahkan suasana dengan canda tanpa dusta. Dengan humor, maka komunikasi
akan tetap fresh dan tidak mudah bosan.
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata,
“Wahai Rasulullah, engkau bercanda dengan kami?” Nabi SAW menjawab, “Aku tidak
mengatakan kecuali kebenaran”. (H.r. Tirmidzi)
b. Menggunakan Bahasa Nonverbal
Menurut
penelitian, komunikasi dengan menggunakan bahasa nonverbal lebih efektif yakni
sebesar 93%. Contoh komunikasi nonverbal ialah menggunakan gerak isyarat,
bahasa tubuh, ekspresi wajah dan kontak mata, penggunaan objek seperti pakaian,
potongan rambut, dan sebagainya. Selain itu dapat juga berupa cara berbicara
seperti intonasi, penekanan, kualitas suara, gaya emosi, dan gaya berbicara.[3]
Nah, intinya,
komunikasi bukanlah sekedar berbicara, tetapi juga melibatkan seluruh sistem
yang ada di tubuh kita. Komunikasi diibaratkan sebagai suatu pesan yang bisa
menjadi daya tahan dan peubah yang sangat luar biasa pada orang lain. Objek
dakwah sangat merindukan komunikasi dari para da’i muda dalam membimbing dan
memperdalam Islam secara baik dan sesuai dengan tingkat pemahaman mereka. So,
give the best and get the best.
c.
Kenali Karakter Diri
Seorang da’i harus dapat mengenal
dan memposisikan diri dalam situasi yang dialami oleh objek dakwah. Dengan cara
ini, da’i akan mampu untuk bersikap lebih objektif dalam komunikasi. Da’i juga
harus dapat menyampaikan ilmu dengan “bahasa” orang yang menjadi objek dakwah.
Khatibun naasa bi lughati qaumihim, berbicaralah kepada manusia dengan bahasa
kaumnya
2.
PERSIAPAN FISIK
Proses tenaga dalam
Biolistrik berhubungan eras dengan spiritualitas. Tetapi, persiapan yang
harus dilakukan sebelum membangkitkan tenaga dalam Biolistrik tidak cukup
sekadar persiapan secara spiritual saja. Walaupun cukup banyak orang yang
beranggapan bahwa untuk mengembangkan kemampuan spiritual secara maksimal,
seseorang harus memperlemah tubuh fisiknya, hal ini tidaklah benar. Dengan memperlemah
tubuh fisik peningkatan spiritual yang dapat diperoleh amat terbatas. Harus ada
keseimbangan fisik, mental, dan spiritual yang balk untuk mencapai hasil yang
semaksimal mungkin. Tubuh yang lemah, emosi yang labil, atau mental yang
terganggu akan membatasi pertumbuhan spiritual
Persiapan fisik untuk proses
kebangkitan dan pembersihan tenaga dalam Biolistrik tidak membutuhkan
latihan maupun teknik khusus. Selama kebutuhan tubuh fisik untuk tetap sehat
dapat dipenuhi dengan melakukan olahraga secara rutin, maka tidak ada persiapan
fisik tambahan yang harus dilakukan. Yang harus diingat hanyalah bahwa olahraga
yang dilakukan harus melibatkan seluruh anggota tubuh. Gerakan-gerakan olahraga
dilakukan pada bagian tubuh tertentu, bagian tubuh tersebut akan mengeluarkan
energi-energi negatif dan menggantinya dengan energi baru yang positif.
Olahraga yang teratur yang melibatkan seluruh anggota tubuh secara seimbang
akan menjaga tubuh tetap sehat.[4]
a.
Persiapan Mental Dan Emosional
Persiapan juga harus mencakup persiapan
mental dan emosional. Seseorang yang tidak mempunyai persiapan mental dan
emosional yang balk akan dihinggapi oleh berbagai masalah saat proses
pembersihan oleh tenaga Kundalini terjadi. Dipercaya bahwa tenaga dalam
Biolistrik mempunyai kesadaran sendiri. Apabila orang yang bersangkutan
terguncang secara mental ataupun emosional akibat kebangkitan ataupun proses
pembersihannya, maka proses akan dihentikan oleh tenaga dalam Biolistrik.
Untuk persiapan mental, sudah tentu
pemahaman sangat penting! Harus diketahui bahwa proses pembersihan
berjalan tidak sama pada diri setiap orang. Pada beberapa orang, proses
pembersihan berjalan dengan amat lembut tanpa menimbulkan sensasi-sensasi
khusus.
Tetapi, pada yang lain, proses pembersihan mungkin berjalan cukup
sulit. Proses pembersihan mungkin menimbulkan rasa gatal, nyeri, sakit, dan
sebagainya secara nyata. Dengan mengetahui bahwa masalah seperti ini adalah hal
biasa, maka kekhawatiran dan rasa takut tidak akan timbul.
Disarankan juga untuk membaca buku-buku
spiritual lainnya, khususnya yang berkaitan dengan cinta kasih terhadap selama,
penerangan, dan reinkarnasi. Setelah berhasil membangkitkan Kundalini,
disarankan untuk dapat berkomunikasi secara tetap dengan rekan-rekan lain yang
juga telah terbangkit tenaga dalam Biolistriknya dan dalam proses pembersihan.
Dengan demikian, hal-hal yang masih belum jelas dapat didiskusikan
bersama-sama.
b.
Persiapan Spiritual
Sudah pasti persiapan spiritual
adalah sesuatu yang penting yang tidak boleh dilewatkan. Dalam persiapan ini,
lapisan-lapisan tubuh lainnya harus dibersihkan Walaupun ada banyak
sekali teknik yang dapat dilakukan untuk pembersihan lapisan-lapisan tubuh,
berikut adalah beberapa hal yang dianggap paling praktisi
3.
PERSIAPAN FSIKIS
Gambaran proses pembersihan ini
hanyalah garis benar saja. Urutan dan uraian yang diberikan tidak harus sama
pada setiap orang. tenaga dalam Biolistrik tidak selalu bekerja sesuai
urutan di atas. Cukup banyak kasus di mana tenaga dalam
Biolistrik membersihkan beberapa cakra sekaligus, karena pada
cakra-cakra di bagian bawah telah terbuka jalur yang cukup bagi tenaga
Kundalini untuk melewatinya
Kekuatan Psikis
Uraian di atas adalah gambaran bagi
orang-orang yang Kundalininya bangkit secara menyeluruh. Pada sebagian orang yang
memang tidak mengetahui dan melatih tenaga dalam Biolistrik, Biolistrik mungkin
bangkit secara spontan dan membersihkan cakra tertentu saja, yang biasa juga
disebut dengan kebangkitan sebagian. Walaupun hanya sebagian, pembersihan
oleh Persiapan Membangkitkan tenaga dalam Biolistrik pada
sebuah cakra tertentu saja dapat mengeluarkan kemampuan psikis dari cakra
tersebut. Karena itu, beberapa paranormal mempunyai kekuatan psikis tanpa
melatih Kundalini sama sekali
psikis biasanya muncul dan
menghilang secara tiba-tiba pada tahap awal. Saat tenaga dalam
Biolistrik membersihkan sebuah cakra, kekuatan psikis dari cakra akan
muncul. Akan tetapi, pembersihan dalam tahap ini barulah pembersihan awal.
Ketika kotoran dari bagian tubuh yang lebih rendah terdorong ke atas, cakra
yang telah agak bersih tersebut dapat menjadi kotor kembali. Dengan demikian
kekuatan psikis dari cakra ini menghilang untuk sementara. Setelah cakra ini
menjadi bersih kembali, kekuatan psikis pun akan muncul kembali
Setelah seluruh proses pembersihan
dan pemurnian oleh Bilistrik selesai, seluruh kekuatan psikis akan timbul
secara permanen. Sebelum seluruh proses selesai, dianjurkan untuk tidak
mempergunakan kekuatan psikis. Tujuan dari proses pembersihan dan pemurnian
Kundalini bukanlah untuk mencari kekuatan psikis. Penggunaan kekuatan psikis
akan membelokkan orang yang bersangkutan dari tujuan utama, yaitu untuk mencari
penerangan atau pencerahan. Tenaga biolistrik yang dibutuhkan untuk
membersihkan sushumna dan seluruh cakra utama hingga cakra mahkota akan
dibelokkan ke cakra tertentu untuk kebutuhan kekuatan psikis tersebut. Dengan
demikian Kundalini tidak akan dapat membersihkan cakra mahkota secara sempurna.
Dari pengalaman penulis, pembaca tidak perlu mengkhawatirkan hal ini sebelum
jalur sushumnanya menjadi bersih sekali
4.
URGENSI RETORIKA BAGI DA’I UNTUK
KESUKSESAN PROSES DAKWAH
a.
Retorika
Dakwah
Adapun dakwah berasal dari bahasa Arab yang
artinya ‘mengajak’ atau ‘menyeru’. Banyak sekali pengertian dakwah yang
dikemukakan oleh para ahli dakwah, tapi pada prinsipnya dapat disimpulkan bahwa
dakwah adalah aktivitas mengubah situasi dan kondisi yang tidak sesuai dengan
Islam menjadi situasi dan kondisi yang sesuai dengan kehidupan Islam. Dengan
demikian yang diinginkan oleh dakwah adalah terjadinya perubahan ke arah
kehidupan yang lebih Islami. Dari definisi tersebut, kita dapat menyimpulkan
bahwa retorika dakwah adalah keterampilan menyampaikan ajaran Islam secara
lisan guna memberikan pemahaman yang benar kepada kaum muslimin agar mereka
dapat dengan mudah menerima seruan dakwah Islam yang karenanya pemahaman dan
prilakunya dapat berubah menjadi lebih Islami. Atau retorika
Dakwah dapat dimaknai pula sebagai pidato atau ceramah yang berisikan pesan
dakwah, yakni ajakan ke jalan Tuhan (sabili rabbi) mengacu pada
pengertian dakwah dalam QS. An-Nahl:125:
“Serulah oleh kalian
(umat manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasihat yang baik, dan
berdebatlah dengan mereka secara baik-baik”
b.
Gaya Bahasa Retorika
1.
Metafora (menerangkan
sesuatu yang sebelumnya tidak dikenal dengan mengidentifikasikannya dengan
sesuatu yang dapat disadari secara langsung, jelas dan dikenal, tamsil)
2. Monopoli Semantik (penafsir
tunggal yang memaksakan kehendak atas teks yang multi- interpretatif)
3. Fantasy Themes (tema-tema
yang dimunculkan oleh penggunaan kata/istilah bisa memukau khalayak)
4.
Labelling (penjulukan, audiens diarahkan untuk menyalahkan orang
lain)
5.
Kreasi Citra (mencitrakan positif pada satu pihak, biasanya subjek
yang berbicara)
6. Kata Topeng (kosakata untuk mengaburkan
makna harfiahnya/realitas sesungguhnya)
7. Kategorisasi (menyudutkan
pihak lain atau skenario menghadapi musuh yang terlalu kuat, dengan
memecah-belah kelompok lawan)
8. Gobbledygook (menggunakan
kata berbelit-belit, abstrak dan tidak secara langsung menunjuk kepada
tema, jawaban normatif)
9. Apostrof (pengalihan
amanat dengan menggunakan proses/kondisi/pihak lain yang tidak hadir sebagai
kambing hitam yang bertanggung jawab kepada suatu masalah)
c.
Retorika
(Dakwah) Islam
Retorika
dakwah sendiri berarti berbicara soal ajaran Islam. Dalam hal ini, Dr. Yusuf
Al-Qaradhawi dalam bukunya, Retorika Islam (Khalifa, 2004), menyebutkan
prinsip-prinsip retorika Islam sebagai berikut:[5]
1. Dakwah Islam adalah kewajiban
setiap Muslim.
2. Dakwah Rabbaniyah ke Jalan Allah.
3. Mengajak manusia dengan cara hikmah dan pelajaran yang baik.
Secara ideal, masih menurut Dr.
Yusuf Al-Qaradhawi, karakteristik retorika Islam adalah sebagai berikut
1. Menyeru kepada
spiritual dan tidak meremehkan material
2. Memikat dengan Idealisme dan Mempedulikan Realita
3. Mengajak pada keseriusan dan konsistensi, dan tidak melupakan
istirahat dan berhibur
4. Berorientasi futuristik dan tidak memungkiri masa lalu
5. Memudahkan dalam berfatwa dan menggembirakan dalam
berdakwah
6. Menolak aksi teror yang terlarang dan mendukung jihad
yang disyariatkan
d.
Pentingnya Retorika dalam Dakwah
Ceramah, pidato, atau khutbah merapakan salah satu bentuk
kegiatan dakwah yang sangat sering dilakukan di tengah-tengah kehidupan
masyarakat. Bahkan khutbah pada hari Jumat adalah merupakan kegiatan wajib yang
harus dijalankan saat melaksanakan sholat Jum’at. Agar ceramah atau khutbah
dapat berlangsung dengan baik, memikat dan menyentuh akal dan hati para jamaah,
maka pemahaman tentang retorika menjadi perkara yang penting. Dengan demikian,
disamping penguasaan konsepsi Islam dan pengamalannya, keberhasilan dakwah juga
sangat ditentukan oleh kemampuan komunikasi antara sang muballigh atau khatib
dengan jama’ah yang menjadi obyek dakwah.. Menurut
Syaikh Muhammad Abduh, ayat tersebut menunjukkan, dalam garis besarnya, umat
yang dihadapi seorang da’i (objek dakwah) dapat dibagi atas tiga golongan, yang
masing-masingnya dihadapi dengan cara yang berbeda-beda sesuai hadits:
“Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar (takaran kemampuan) akal
mereka”
a.
Ada golongan cerdik-cendekiawan yang cinta kebenaran,
berpikir kritis, dan cepat tanggap. Mereka ini harus dihadapi dengan hikmah,
yakni dengan alasan-alasan, dalil dan hujjah yang dapat diterima oleh kekuatan
akan mereka.
b.
Ada golongan awam, orang kebanyakan yang belum dapat
berpikir kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian tinggi-tinggi.
Mereka ini dipanggil dengan mau’idzatul hasanah, dengan ajaran dan
didikan, yang baik-baik, dengan ajaran-ajaran yang mudah dipahami.
c.
Ada golongan yang
tingkat kecerdasannya diantara kedua golongan tersebut. Mereka ini dipanggil
dengan mujadalah billati hiya ahsan, yakni dengan bertukar pikiran, guna
mendorong supaya berpikir secara sehat.
BAB III
KESIMPULAN
Tujuan
Retorika dalam kaiatannya dengan Ilmu Dakwah yang paling urgen adalah
“mempengaruhi audiens”. Ini karena dalam berdakwah itu sendiri dibutuhkan
tekhnik-tekhnik yang mampu memberikan pengaruh efektif kepada khalayak
masyarakat sebagai objek dakwah (al-mad’uu). Yang diantaranya dengan
menggunakan retorika-retorika ampuh dan jitu untuk mempengaruhi orang lain agar
mengiyakan apa yang dikatakannya dan mengikuti apa yang diserunya.
Sebagaimana dakwah adalah sarana komunikasi
menghubungkan, memberikan dan menyerahkan segala gagasan, cita cita dan rencana
kepada orang lain dengan motif menyebarkan kebenaran sejati. Uraian singkat diatas
kiranya telah cukup untuk dijadikan bahan pegangan dan pelajaran dalam rangka
memahami Retorika dihadapan umum, segaligus dapat disimpulkan bahwa :
a.
Kemahiran
berbicara dihadapan umum dapat dipelajari sebagaimana ilmu pengetahuan asalkan disertai dengan
latihan-latihan, walaupun unsur nativisme (bakat) ikut menunjang.
b.
Semua pedoman
diatas pada akhirnya kembali kepada para penutur itu sendiri untuk
diolah, divariasikan denganberbagai cara sesuai dengan
pengalaman-pengalamanyang diperolehnya.
c.
Kunci suksesnya terpantul kembali pada pribadi
pembicara. Apabila pembicara adalah orang yang telah Mempunyai reputasi
baik, pandangannya, loyalitas, integritas dan semangatnya serta sifat sifat
lain yang terpercaya maka jaminan kesuksesan pembicara untuk mempengaruhi orang
lain atau mereka yang diajak berbicara. Sukses dalam mempengaruhi dengan jalan
pendekatan persuasi agar yang diajak bicara, tertarik, faham kemudian
tergerak pada tindakan yang dikehendaki.
Daftar
Pustaka
Abidin Ass, Djamalul, Komunikasi dan Bahasa Dakwah (Jakarta:
Gema Insasi Pers, 1996).
Eka Whardana, Sutirman, Jurnalistik
Dakwah (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,1995).
Masy’ari, Anwar, Butir-Butir Problematika Dakwah Islamiyah (Surabaya
: Bina Ilmu, 1993).
Munir Amin, Samsul, Ilmu Dakwah (Jakarta
: Amzah, 2009).
Samsul M.romli, S.IP, Asep,
Jurnalistik Praktis (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2001).
[1] Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah (Jakarta : Amzah, 2009), hlm.
257.
[2] Asep Samsul M.romli, S.IP, Jurnalistik Praktis (Bandung : Remaja Rosda
Karya, 2001), hlm. 93-94.
[3] Sutirman Eka Whardana, Jurnalistik Dakwah (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar,1995), hlm. 18.
[4] Djamalul Abidin Ass, Komunikasi dan Bahasa Dakwah (Jakarta:
Gema Insasi Pers, 1996),hlm. 122.
[5]Anwar Masy’ari, Butir-Butir Problematika Dakwah Islamiyah (Surabaya
: Bina Ilmu, 1993), hlm. 185.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar