Jumat, 16 Januari 2015

SEJARAH PERADABAN ISLAM DISPANYOL ''ANJUR HARAHAP''



­BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Setiap bentuk-bentuk komunikasi adalah sebuah drama. Karenanya seorang pembicara hendaknya mampu mendramatisir (membuat jama’ah merasa tertarik) terhadap pembicara, sedangkan menurut Walter Fisher bahwa setiap komunikasi adalah bentuk dari cerita (storytelling). Karenanya, jika seseorang mampu bercerita sesungguhnya maka ia punya potensi untuk berceramah dan untuk menjadi muballigh. Sebagaimana dalam berdakwah itu sendiri dibutuhkan retorika-retorika yang dapat membuat dakwah seseorang lebih mengena, efisien dan efektif. Terutama dalam menyosialisasikan ajaran-ajaran Islam. Maka retorika itu harus biasa dikuasai oleh seseorang yang hendak berdakwah. Dalam kaitan antara retorika dan dakwah, di sini pemakalah akan mencoba membahas mengenai keduanya.[1]

B.    Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan retorika dakwah?
2. Apa urgensi retorika dalam dakwah?

·         Definisi Retorika
Retorika berasal dari bahasa Yunani “RHETOR” atau bahasa Inggris “ORATOR” yang berarti “kemahiran dalam berbicara dihadapan umum”. I Gusti Ngurah Oka, memberikan definisi sebagai berikut“Ilmu yang mengajarkan tindak dan usahayang untuk dalam persiapan, kerjasama, serta kedamaian ditengah masyarakat”. Dengan demikian termasuk dalam cakupan pengertian

·         Urgensi Retorika
Retorika adalah seni berbicara kemahiran dan kelancaran berbicara kemampuan memproduksi gagasan kemampuan mensosialisasikan sehingga mampu mempengaruhi audience.


BAB II
PEMBAHASAN
1.        PERSIAPAN MATERI
Komunikasi merupakan sebuah keterampilan dan seni yang membutuhkan pembelajaran dan juga pengalaman. Menurut ilmu psikologi, komunikasi adalah apa yang dikomunikasikan dapat dipahami langsung oleh yang ditujukan. Bila seorang da’i ingin diterima oleh orang lain, khususnya objek dakwah, maka keterampilan dalam berkomunikasi merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Untuk itu, seorang da’i harus memiliki persiapan dalam mengikat hati objek dakwah
a.      Percaya Diri
Menguasai bahan materi yanga akan disampaikan dengan teliti. Jangan sampai naik panggung tanpa persiapan, menyeberangi lautan tanpa perahu, apalagi menjadi da’i tanpa persiapan sama sekali. Jadi, semua bermula dari membaca
Apa yang keluar dari hati akan sampai ke hati, apa yang keluar dari lisan hanya akan sampai di telinga saja. Untuk itu, da’i perlu power untuk berbicara dari hati ke hati, yakni memperbanyak amalan-amalan kepada Allah SWT. Insya Allah, apa yang dikomunikasikan dapat mengena ke dalam hati objek dakwah. Bersikap ikhlaslah untuk menerima kelebihan dan kekurangan orang lain. Persiapkan hati dalam menerima hal-hal baru yang mungkin berbeda dengan apa yang diketahui selama ini. Setelah mengetahui persiapan apa saja yang dibutuhkan, dalam berkomunikasi juga diperlukan suatu trik atau tips khusus agar komunikasi dapat berjalan efektif dalam mengikat hati objek dakwah.[2]
Berikut ini adalah tips-tips dalam berkomunikasi untuk memikat hati objek dakwah; Berkata benar dengan cara yang menarik. Perkataan hendaklah diisi dengan mendakwahkan kebenaran dan harus dikemas dengan baik. Sebab kebenaran yang tidak dikemas dengan “apik” akan kalah dengan kebatilan yang dikemas dengan menarik.
Pesan yang dikomunikasikan harus simple dan jelas. Ini menjadi seni tersendiri dari seorang da’i untuk menyuarakan kebenaran dan kesegaran yang mudah dipahami dan kaya arti. Aisyah r.a. berkata, “Sesungguhnya perkataan Rasulullah SAW cukup jelas dan mudah dimengerti oleh setiap pendengarnya”. (H.r. Abu Dawud). Bicara itu perlu seni. Dalam berkomunikasi diperlukan seni karena seni dapat dinikmati dan berkesan di hati. Pecahkan suasana dengan canda tanpa dusta. Dengan humor, maka komunikasi akan tetap fresh dan tidak mudah bosan.
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, “Wahai Rasulullah, engkau bercanda dengan kami?” Nabi SAW menjawab, “Aku tidak mengatakan kecuali kebenaran”. (H.r. Tirmidzi)
b.      Menggunakan Bahasa Nonverbal
Menurut penelitian, komunikasi dengan menggunakan bahasa nonverbal lebih efektif yakni sebesar 93%. Contoh komunikasi nonverbal ialah menggunakan gerak isyarat, bahasa tubuh, ekspresi wajah dan kontak mata, penggunaan objek seperti pakaian, potongan rambut, dan sebagainya. Selain itu dapat juga berupa cara berbicara seperti intonasi, penekanan, kualitas suara, gaya emosi, dan gaya berbicara.[3]
Nah, intinya, komunikasi bukanlah sekedar berbicara, tetapi juga melibatkan seluruh sistem yang ada di tubuh kita. Komunikasi diibaratkan sebagai suatu pesan yang bisa menjadi daya tahan dan peubah yang sangat luar biasa pada orang lain. Objek dakwah sangat merindukan komunikasi dari para da’i muda dalam membimbing dan memperdalam Islam secara baik dan sesuai dengan tingkat pemahaman mereka. So, give the best and get the best.
c.       Kenali Karakter Diri
Seorang da’i harus dapat mengenal dan memposisikan diri dalam situasi yang dialami oleh objek dakwah. Dengan cara ini, da’i akan mampu untuk bersikap lebih objektif dalam komunikasi. Da’i juga harus dapat menyampaikan ilmu dengan “bahasa” orang yang menjadi objek dakwah. Khatibun naasa bi lughati qaumihim, berbicaralah kepada manusia dengan bahasa kaumnya
2.        PERSIAPAN FISIK
Proses tenaga dalam Biolistrik berhubungan eras dengan spiritualitas. Tetapi, persiapan yang harus dilakukan sebelum membangkitkan tenaga dalam Biolistrik tidak cukup sekadar persiapan secara spiritual saja. Walaupun cukup banyak orang yang beranggapan bahwa untuk mengembangkan kemampuan spiritual secara maksimal, seseorang harus memperlemah tubuh fisiknya, hal ini tidaklah benar. Dengan memperlemah tubuh fisik peningkatan spiritual yang dapat diperoleh amat terbatas. Harus ada keseimbangan fisik, mental, dan spiritual yang balk untuk mencapai hasil yang semaksimal mungkin. Tubuh yang lemah, emosi yang labil, atau mental yang terganggu akan membatasi pertumbuhan spiritual
Persiapan fisik untuk proses kebangkitan dan pembersihan tenaga dalam Biolistrik tidak membutuhkan latihan maupun teknik khusus. Selama kebutuhan tubuh fisik untuk tetap sehat dapat dipenuhi dengan melakukan olahraga secara rutin, maka tidak ada persiapan fisik tambahan yang harus dilakukan. Yang harus diingat hanyalah bahwa olahraga yang dilakukan harus melibatkan seluruh anggota tubuh. Gerakan-gerakan olahraga dilakukan pada bagian tubuh tertentu, bagian tubuh tersebut akan mengeluarkan energi-energi negatif dan menggantinya dengan energi baru yang positif. Olahraga yang teratur yang melibatkan seluruh anggota tubuh secara seimbang akan menjaga tubuh tetap sehat.[4]
a.      Persiapan Mental Dan Emosional
Persiapan juga harus mencakup persiapan mental dan emosional. Seseorang yang tidak mempunyai persiapan mental dan emosional yang balk akan dihinggapi oleh berbagai masalah saat proses pembersihan oleh tenaga Kundalini terjadi. Dipercaya bahwa tenaga dalam Biolistrik mempunyai kesadaran sendiri. Apabila orang yang bersangkutan terguncang secara mental ataupun emosional akibat kebangkitan ataupun proses pembersihannya, maka proses akan dihentikan oleh tenaga dalam Biolistrik.
Untuk persiapan mental, sudah tentu pemahaman  sangat penting! Harus diketahui bahwa proses pembersihan berjalan tidak sama pada diri setiap orang. Pada beberapa orang, proses pembersihan berjalan dengan amat lembut tanpa menimbulkan sensasi-sensasi khusus.
Tetapi, pada yang lain, proses pembersihan mungkin berjalan cukup sulit. Proses pembersihan mungkin menimbulkan rasa gatal, nyeri, sakit, dan sebagainya secara nyata. Dengan mengetahui bahwa masalah seperti ini adalah hal biasa, maka kekhawatiran dan rasa takut tidak akan timbul.
Disarankan juga untuk membaca buku-buku spiritual lainnya, khususnya yang berkaitan dengan cinta kasih terhadap selama, penerangan, dan reinkarnasi. Setelah berhasil membangkitkan Kundalini, disarankan untuk dapat berkomunikasi secara tetap dengan rekan-rekan lain yang juga telah terbangkit tenaga dalam Biolistriknya dan dalam proses pembersihan. Dengan demikian, hal-hal yang masih belum jelas dapat didiskusikan bersama-sama.
b.      Persiapan Spiritual
Sudah pasti persiapan spiritual adalah sesuatu yang penting yang tidak boleh dilewatkan. Dalam persiapan ini, lapisan-lapisan tubuh lainnya harus dibersihkan  Walaupun ada banyak sekali teknik yang dapat dilakukan untuk pembersihan lapisan-lapisan tubuh, berikut adalah beberapa hal yang dianggap paling praktisi
3.        PERSIAPAN FSIKIS
Gambaran proses pembersihan ini hanyalah garis benar saja. Urutan dan uraian yang diberikan tidak harus sama pada setiap orang. tenaga dalam Biolistrik tidak selalu bekerja sesuai urutan di atas. Cukup banyak kasus di mana  tenaga dalam Biolistrik  membersihkan beberapa cakra sekaligus, karena pada cakra-cakra di bagian bawah telah terbuka jalur yang cukup bagi tenaga Kundalini untuk melewatinya
Kekuatan Psikis
Uraian di atas adalah gambaran bagi orang-orang yang Kundalininya bangkit secara menyeluruh. Pada sebagian orang yang memang tidak mengetahui dan melatih tenaga dalam Biolistrik, Biolistrik mungkin bangkit secara spontan dan membersihkan cakra tertentu saja, yang biasa juga disebut dengan kebangkitan sebagian. Walaupun hanya sebagian, pembersihan oleh Persiapan Membangkitkan  tenaga dalam Biolistrik pada sebuah cakra tertentu saja dapat mengeluarkan kemampuan psikis dari cakra tersebut. Karena itu, beberapa paranormal mempunyai kekuatan psikis tanpa melatih Kundalini sama sekali
psikis biasanya muncul dan menghilang secara tiba-tiba pada tahap awal. Saat   tenaga dalam Biolistrik membersihkan sebuah cakra, kekuatan psikis dari cakra akan muncul. Akan tetapi, pembersihan dalam tahap ini barulah pembersihan awal. Ketika kotoran dari bagian tubuh yang lebih rendah terdorong ke atas, cakra yang telah agak bersih tersebut dapat menjadi kotor kembali. Dengan demikian kekuatan psikis dari cakra ini menghilang untuk sementara. Setelah cakra ini menjadi bersih kembali, kekuatan psikis pun akan muncul kembali
Setelah seluruh proses pembersihan dan pemurnian oleh Bilistrik  selesai, seluruh kekuatan psikis akan timbul secara permanen. Sebelum seluruh proses selesai, dianjurkan untuk tidak mempergunakan kekuatan psikis. Tujuan dari proses pembersihan dan pemurnian Kundalini bukanlah untuk mencari kekuatan psikis. Penggunaan kekuatan psikis akan membelokkan orang yang bersangkutan dari tujuan utama, yaitu untuk mencari penerangan atau pencerahan. Tenaga  biolistrik yang dibutuhkan untuk membersihkan sushumna dan seluruh cakra utama hingga cakra mahkota akan dibelokkan ke cakra tertentu untuk kebutuhan kekuatan psikis tersebut. Dengan demikian Kundalini tidak akan dapat membersihkan cakra mahkota secara sempurna. Dari pengalaman penulis, pembaca tidak perlu mengkhawatirkan hal ini sebelum jalur sushumnanya menjadi bersih sekali
4.        URGENSI RETORIKA BAGI DA’I UNTUK KESUKSESAN PROSES DAKWAH

a.      Retorika Dakwah
Adapun dakwah berasal dari bahasa Arab yang artinya ‘mengajak’ atau ‘menyeru’. Banyak sekali pengertian dakwah yang dikemukakan oleh para ahli dakwah, tapi pada prinsipnya dapat disimpulkan bahwa dakwah adalah aktivitas mengubah situasi dan kondisi yang tidak sesuai dengan Islam menjadi situasi dan kondisi yang sesuai dengan kehidupan Islam. Dengan demikian yang diinginkan oleh dakwah adalah terjadinya perubahan ke arah kehidupan yang lebih Islami. Dari definisi tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa retorika dakwah adalah keterampilan menyampaikan ajaran Islam secara lisan guna memberikan pemahaman yang benar kepada kaum muslimin agar mereka dapat dengan mudah menerima seruan dakwah Islam yang karenanya pemahaman dan prilakunya dapat berubah menjadi lebih Islami. Atau retorika Dakwah dapat dimaknai pula sebagai pidato atau ceramah yang berisikan pesan dakwah, yakni ajakan ke jalan Tuhan (sabili rabbi) mengacu pada pengertian dakwah dalam QS. An-Nahl:125:
“Serulah oleh kalian (umat manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka secara baik-baik”

b.      Gaya Bahasa Retorika
1.    Metafora (menerangkan sesuatu yang sebelumnya tidak dikenal dengan mengidentifikasikannya dengan sesuatu yang dapat disadari secara langsung, jelas dan dikenal, tamsil)
2. Monopoli Semantik (penafsir tunggal yang memaksakan kehendak atas teks yang multi-  interpretatif)
3. Fantasy Themes (tema-tema yang dimunculkan oleh penggunaan kata/istilah bisa memukau khalayak)
4.  Labelling (penjulukan, audiens diarahkan untuk menyalahkan orang lain)
5.  Kreasi Citra (mencitrakan positif pada satu pihak, biasanya subjek yang berbicara)
6.  Kata Topeng (kosakata untuk mengaburkan makna harfiahnya/realitas sesungguhnya)
7. Kategorisasi (menyudutkan pihak lain atau skenario menghadapi musuh yang terlalu kuat, dengan memecah-belah kelompok lawan)
8. Gobbledygook (menggunakan kata berbelit-belit,  abstrak dan tidak secara langsung menunjuk kepada tema, jawaban normatif)
9. Apostrof (pengalihan amanat dengan menggunakan proses/kondisi/pihak lain yang tidak hadir sebagai kambing hitam yang bertanggung jawab kepada suatu masalah)

c.      Retorika (Dakwah) Islam
Retorika dakwah sendiri berarti berbicara soal ajaran Islam. Dalam hal ini, Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam bukunya, Retorika Islam (Khalifa, 2004), menyebutkan prinsip-prinsip retorika Islam sebagai berikut:[5]
1. Dakwah Islam adalah kewajiban setiap Muslim.
2. Dakwah Rabbaniyah ke Jalan Allah.
3. Mengajak manusia dengan cara hikmah dan pelajaran yang baik.
Secara ideal, masih menurut Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, karakteristik retorika Islam adalah sebagai berikut
1.  Menyeru kepada spiritual dan tidak meremehkan material
2.  Memikat dengan Idealisme dan Mempedulikan Realita
3.  Mengajak pada keseriusan dan konsistensi, dan tidak melupakan istirahat dan berhibur
4.  Berorientasi futuristik dan tidak memungkiri masa lalu
5.  Memudahkan dalam berfatwa dan menggembirakan dalam berdakwah
6.  Menolak aksi teror yang terlarang dan mendukung jihad yang disyariatkan

d.      Pentingnya Retorika dalam Dakwah
Ceramah, pidato, atau khutbah merapakan salah satu bentuk kegiatan dakwah yang sangat sering dilakukan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Bahkan khutbah pada hari Jumat adalah merupakan kegiatan wajib yang harus dijalankan saat melaksanakan sholat Jum’at. Agar ceramah atau khutbah dapat berlangsung dengan baik, memikat dan menyentuh akal dan hati para jamaah, maka pemahaman tentang retorika menjadi perkara yang penting. Dengan demikian, disamping penguasaan konsepsi Islam dan pengamalannya, keberhasilan dakwah juga sangat ditentukan oleh kemampuan komunikasi antara sang muballigh atau khatib dengan jama’ah yang menjadi obyek dakwah.. Menurut Syaikh Muhammad Abduh, ayat tersebut menunjukkan, dalam garis besarnya, umat yang dihadapi seorang da’i (objek dakwah) dapat dibagi atas tiga golongan, yang masing-masingnya dihadapi dengan cara yang berbeda-beda sesuai hadits: “Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar (takaran kemampuan) akal mereka”
a. Ada golongan cerdik-cendekiawan yang cinta kebenaran, berpikir kritis, dan cepat tanggap. Mereka ini harus dihadapi dengan hikmah, yakni dengan alasan-alasan, dalil dan hujjah yang dapat diterima oleh kekuatan akan mereka.
b. Ada golongan awam, orang kebanyakan yang belum dapat berpikir kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian tinggi-tinggi. Mereka ini dipanggil dengan mau’idzatul hasanah, dengan ajaran dan didikan, yang baik-baik, dengan ajaran-ajaran yang mudah dipahami.
c.  Ada golongan yang tingkat kecerdasannya diantara kedua golongan tersebut. Mereka ini dipanggil dengan mujadalah billati hiya ahsan, yakni dengan bertukar pikiran, guna mendorong supaya berpikir secara sehat.

BAB III
KESIMPULAN

Tujuan Retorika dalam kaiatannya dengan Ilmu Dakwah yang paling urgen adalah “mempengaruhi audiens”. Ini karena dalam berdakwah itu sendiri dibutuhkan tekhnik-tekhnik yang mampu memberikan pengaruh efektif kepada khalayak masyarakat sebagai objek dakwah (al-mad’uu). Yang diantaranya dengan menggunakan retorika-retorika ampuh dan jitu untuk mempengaruhi orang lain agar mengiyakan apa yang dikatakannya dan mengikuti apa yang diserunya.
Sebagaimana dakwah adalah sarana komunikasi menghubungkan, memberikan dan menyerahkan segala gagasan, cita cita dan rencana kepada orang lain dengan motif  menyebarkan kebenaran sejati. Uraian singkat diatas kiranya telah cukup untuk dijadikan bahan pegangan dan pelajaran dalam rangka memahami Retorika dihadapan umum, segaligus dapat disimpulkan bahwa :
a.       Kemahiran berbicara dihadapan umum dapat dipelajari sebagaimana ilmu pengetahuan asalkan disertai dengan latihan-latihan, walaupun unsur nativisme (bakat) ikut menunjang.

b.      Semua pedoman diatas pada akhirnya kembali kepada para penutur itu sendiri untuk diolah, divariasikan denganberbagai cara sesuai dengan pengalaman-pengalamanyang diperolehnya.

c.       Kunci suksesnya terpantul kembali pada pribadi pembicara. Apabila pembicara adalah orang  yang telah Mempunyai reputasi baik, pandangannya, loyalitas, integritas dan semangatnya serta sifat sifat lain yang terpercaya maka jaminan kesuksesan pembicara untuk mempengaruhi orang lain atau mereka yang diajak berbicara. Sukses dalam mempengaruhi dengan jalan pendekatan persuasi agar yang diajak bicara, tertarik, faham kemudian  tergerak pada tindakan yang dikehendaki.



                                                                 Daftar Pustaka              
Abidin Ass, Djamalul, Komunikasi dan Bahasa Dakwah (Jakarta: Gema Insasi Pers, 1996).
Eka Whardana, Sutirman, Jurnalistik Dakwah (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,1995).
Masy’ari, Anwar, Butir-Butir Problematika Dakwah Islamiyah (Surabaya : Bina Ilmu, 1993).
Munir Amin, Samsul, Ilmu Dakwah (Jakarta : Amzah, 2009).
Samsul M.romli, S.IP,  Asep, Jurnalistik Praktis (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2001).
                                                                                                                                  




[1] Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah (Jakarta : Amzah, 2009), hlm. 257.
[2] Asep Samsul M.romli, S.IP,  Jurnalistik Praktis (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2001), hlm. 93-94.
[3] Sutirman Eka Whardana, Jurnalistik Dakwah (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,1995), hlm. 18.
[4] Djamalul Abidin Ass, Komunikasi dan Bahasa Dakwah (Jakarta: Gema Insasi Pers, 1996),hlm. 122.
[5]Anwar Masy’ari, Butir-Butir Problematika Dakwah Islamiyah (Surabaya : Bina Ilmu, 1993), hlm. 185.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar